Minggu, 13 Desember 2009

Solusi Islam Menghentikan Laju HIV/AIDS

Tanggal 1 Desember diperingati sebagai hari anti Aids sedunia. Meski tiap tahun diperingati agar orang menyadari bahaya HIV/Aids, nyatanya jumlah penderita Aids makin meningkat. Departemen Kesehatan memperkirakan, 19 juta orang saat ini berada pada risiko terinfeksi HIV. Sedangkan berdasarkan data Yayasan AIDS Indonesia (YAI), jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh Indonesia per Maret 2009, mencapai 23.632 orang. Angka tersebut meningkat tajam bila dibandingkan jumlah penderita HIV/AIDS sepanjang 2008 yang mencapai 22.262 orang.

Tentu saja angka ini ibarat fenomena gunung es, dimana yang terlihat hanya permukaannya saja. Angka sebenarnya jauh lebih besar karena orang dengan HIV/Aids (ODHA) masih banyak yang tidak terdata disebabkan enggan memeriksakan diri karena takut dan malu.

Sejatinya, sudah banyak upaya dilakukan pemerintah dan berbagai pihak yang peduli untuk menghentikan laju HIV/Aids. Secara resmi program pemerintah dituangkan dalam paradigma kesehatan reproduksi, yakni melalui kampanye ABCD. A artinya absentia atau jangan berhubungan seks sama sekali jika tidak ingin terkena HIV/Aids. B atau be faithful, artinya setia pada pasangan. C alias condomisasi, dimana bagi siapa saja yang tidak bisa A dan B, dipersilakan memakai kondom. Dan D atau drugs, artinya jangan pake narkoba.

Namun, kampanye ABCD ini tidak efektif untuk mengerem laju HIV/Aids, malah cenderung semakin memperbesar angka penderita ODHA. Bagaimana tidak, dengan kampanye kondomisasi misalnya, masyarakat seolah diajari untuk melakukan seks bebas karena sudah dijamin aman dari HIV/Aids asal memakai kondom. Ditambah lagi, perilaku yang mengarah pada seks bebas dibiarkan. Seperti maraknya pornografi dan pornoaksi.

Selain itu, pemakai narkoba juga semakin mendapat angin karena berbagai kebijakan malah memberi peluang untuk mengakses barang laknat itu. Misalnya substitusi narkoba dengan metadon, pelegalan jarum suntik untuk pecandu serta adanya wacana untuk tidak menghukum pengguna narkoba. Makin banyaknya pengguna narkoba membuat peluang munculnya ODHA semakin besar. Apalagi Indonesia ditengarai sebagai surga bagi peredaran narkoba.
Solusi Islam

Diakui atau tidak, akar masalah berkembangnya penyakit HIV/Aids adalah perilaku yang menyimpang dari ketentuan Allah Swt. Seperti diketahui, sejarah ditemukannya virus mematikan itu bermula dari kaum homoseksual. Padahal dalam Islam, hubungan seks sesama jenis melanggar syariat alias diharamkan. Adapun penularan HIV/Aids yang kebanyakan melalui jarum suntik pecandu narkoba, adalah juga melanggar larangan Allah Swt. Karena itu, upaya preventif penularan HIV/Aids adalah dengan meninggalkan gaya hidup liberal yang menyimpang dari syariat Islam.

Negara Khilafah wajib memberantas berbagai sarana yang berhubungan dengan penularan penyakit tersebut untuk melindungi seluruh warga negaranya. Terkait dengan penularan HIV/Aids yang kebanyakan terjadi karena pemakaian jarum suntik oleh pecandu narkoba, maka negara wajib menghentikan peredaran narkoba tersebut. Para pelaku yang terlibat dalam jaringan bisnis narkoba harus dihukum berat. Pecandu yang sudah tobat harus diawasi agar tidak kambuh lagi dan yang belum tobat diberi sanksi agar jera melakukan hal yang sama.

Penularan HIV/Aids melalui hubungan seks bisa dicegah dengan menutup lokalisasi pelacuran yang selama ini menjadi lokasi berisiko tinggi terjadi perpindahan virus HIV. Para pelacur yang biasa beroperasi harus diberi sanksi tegas karena telah melakukan perzinaan yang melanggar tata susila di masyarakat. Demikian pula pengguna jasa mereka, harus dikenai sanksi. Mereka pun harus diperiksa apakah sudah terinveksi HIV/Aids. Jika sudah, maka wajib untuk dikarantina.

Departemen Luar Negeri Khilafah wajib membatalkan segala konvensi internasional yang membentuk mindset permissive di tengah masyarakat, dan menfasilitasi perilaku seks bebas dan penyalahgunaan narkotika. Negara juga harus melepaskan diri dari kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga internasional dalam hal ini WHO, UINAIDS, NODOC, karena terbukti semakin menguatkan ancaman bahaya HIV dan seks bebas.

Sementara itu dalam negeri, Khalifah menerapkan Islam secara kaafah, yaitu sistem pendidikan Islam yang akan membentuk individu yang berkepribadian islam; sistem ekonomi Islam yang mensejahterakan semua orang serta menjauhkan dari segala perbuatan maksiat; menerap sistem pergaulan Islam yang membersihkan masyarakat dari perilaku seks bebas dan akhlak yang rendah; menerapkan sistem sangsi yang sesuai syariat yang membuat masyarakat takut dan berhati-hati melanggar aturan Allah swt.

Karena itu Khalifah melarang perzinahan termasuk berduaan tanpa ada kepentingan yang dibolehkan syara’ dan dijatuhkan sangsi bagi pelanggarnya. Yang demikian karena Islam mengharamkan perbuatan ini, sebagaimana hadist Rasulullah saw yang artinya “Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi (bukan muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga“. (HR Baihaqi). Adapun larangan perbuatan zina, Allah SWT sampaikan pada QS 17:32, yang artinya “Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan“.

Berbagai sarana perangsang seks harus disterilkan dari tempat-tempat umum guna mencegah perzinaan. Poster, majalah, buku, VCD atau koran porno dilarang beredar. Aksi porno di televisi baik melalui acara musik, film maupun komedi harus dihentikan. Hal ini untuk mencegah liarnya nafsu seks masyarakat hingga menghalalkan segala cara untuk memenuhinya, termasuk melalui hubungan seks yang berisiko tinggi menularkan HIV.

Segala cela bagi hadirnya perilaku homoseks (laki-laki dengan laki-laki) dan lesbian (perempuan dengan perempuan) wajib ditutup. Karena Allah swt mengutuk kedua perbuatan ini, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS 7:80-81, yang artinya “Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: Mengapa kamu mengerjakan perbuatan kotor itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun manusia (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka ), bukan kepada wanita. Bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”.

Khilafah akan melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi dan pornoaksi. Karena Islam melarang seorang pria dan wanita melakukan kegiatan dan pekerjaan yang menonjolkan sensualitasnya. Rafi’ ibnu Rifa’a pernah bertutur demikian, yang artinya “Nabi Saw telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda “Seperti inilah jari-jemarinya yang kasar sebagaimana halnya tukang roti, pemintal, atau pengukir.”

Khalifah juga mendorong dan menfasilitasi masyarakat untuk hidup bersih. Membentuk mindset pentingnya kebersihan untuk menghindari penularan HIV melalui program di berbagai media masa. Secara praktis upaya promosi kesehatan ini dapat dilakukan oleh Departemen penerangan Khilafah.

Khalifah (yang secara praktis dilakukan Departemen terkait) menjamin penyediaan fasilitas umum yang sesuai syariat, sehat dan bersih. Rasulullah saw bersabda, yang artinya:”Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan, Mahabersih dan mencintai kebersihan, Mahamulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi” (HR At-Tirmidzi dan Abu Ya’la). Demikianlah cara Khilafah melakukan upaya preventif.

Sementara jika suatu penyakit itu sudah menjadi bahaya di masyarakat, negara wajib melakukan upaya pengobatan sesuai prinsip-prinsip syariat Islam. Yaitu, antara lain tidak membahayakan, tidak menggunakan bahan-bahan yang diharamkan, mendorong dan menfasilitasi penderita untuk semakin taqwa kepada Allah swt.

Untuk itu, negara harus melakukan isolasi terhadap para penderitanya agar tidak menularkan pada yang lain. Daerah yang menjadi endemik harus diisolasi, atau penderitanya dikarantina pada suatu lokasi tertentu. Ini bukan berarti mereka dikucilkan atau didiskriminasi, karena hak-hak mereka sebagai manusia dan warga negara harus tetap dipenuhi. Seperti hak mendapatkan kebutuhan pokok, pendidikan, sarana kesehatan, dll. Jadi tidak ada alasan untuk mencegah diskriminasi maka ODHA justru dibaurkan dengan masyarakat kebanyakan.

Terakhir, negara wajib mengerahkan segenap kemampuan untuk mencari obat guna mengatasi penyebaran penyakit yang membahayakan warga negaranya. Negara melalui para ilmuwannya bisa melakukan berbagai riset untuk menemukan obat pencegah maupun penyembuh penyakit tersebut.

Khalifah wajib memberikan pengobatan gratis bagi para penderita HIV yang memiliki hak hidup. Selain gratis, juga mudah dijangkau semua kalangan dan dalam jumlah memadai. Karena kesehatan termasuk kebutuhan pokok publik yang wajib dijamin pemenuhannya oleh Negara. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw yang artinya, “Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

Hanya saja haruslah dilakukan screening masal terlebih dahulu untuk mengetahui pengidap yang tidak terlihat sebagai pengidap HIV, sementara itu ia bisa menularkan kuman HIV dan kuman HIV sudah “tersebar” di tengah masyarakat.

Upaya kuratif ini dilakukan oleh Departemen Kemaslahatan Umat, Bidang kesehatan. Dalam hal ini dibutuhkan tenaga medis yang profesional dibidangnya, seperti dokter, perawat, laboran, apoteker.

Departemen industri bidang farmasi dan peralatan medis harus difasilitasi untuk memproduksi peralatan medis, obat-obatan yang dibuthkan untuk pengobatan HIV. Industri farmasi juga harus didorong untuk memproduksi sarana dan prasaran yang dibutuhkan untuk rapid test (pemeriksaan cepat).

Khalifah juga wajib memotivasi danmenfasilitasi para ahli di bidang biomedik, para dokter, ahli farmasi untuk menemukan obat HIV yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya. Karena sesungguhnya setiap penyakit pasti ada obatnya. Rasulullah saw bersabda, yang artinya “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat yang tepat diberikan, dengan izin Allah, penyakit itu akan sembuh.”(HR Ahmad dan Hakim).

Selain itu, Khaligah juga harus memutuskan dan mencabut segala perjanjian yang bersifat mengebiri dan menjajah Indonesia di bidang industri farmasi dan kesehatan

Dalam upaya pencegahan penyebaran penyakit pada orang yang sehat, Khalifah wajib menyediakan rumah sakit atau tempat perawatan khusus bagi pasien penderita HIV yang memiliki hak hidup. Seperti penderita HIV akibat efek spiral (anak yang HIV karena orang tuanya pengidap HIV). Dan selama masa perawatan pengidap penyakit diisolasi dari orang yang sehat, sedemikian rupa sehingga penularan dapat dicegah. Hal ini karena Rasulullah saw bersabda, yang artinya: “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menularkan kepada yang sehat” (HR Bukhari). Demikian pula sabda beliau, yang artinya “Apabila kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya dan apabila wabah itu berjangkit sedangkan kamu berada dalam negeri itu , janganlah kamu keluar melarikan diri” (HR. Ahmad, Bukhori, Muslim dan Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf).

Adapun untuk melakukan semua itu saat ini sangatlah mungkin. Karena sesungguhnya Indonesia memiliki SDM yang unggul, misal ahli biomedik, biologi molekuler, tekhnik kimia, kefarmasian yang berpotensi menjadi pakar masa depan dalam pembangunan senjata biologi Daulah. Pelaksanaan sistem pendidikan berdasarkan aqidah Islam akan mempercepat proses penyediaan SDM yang dibutuhkan.

Memang, upaya preventif maupun kuratif itu butuh anggaran besar. Pengelolaan baitul maal yang efektif yang ditopang dengan berjalannya sistem perekonomian yang sesuai syaraiat Islam, memungkinkan negara mampu membiayai berbagai kebutuhan yang diperlukan. Apa lagi Indonesia memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, yang merupakan salah satu pos pemasukan keuangan negara yang sangat penting dan strategis.

Anggaran untuk pos jihad dapat diambil dari sumber pemasukan baitul maal mana saja, yang meliputi Fa-i dan kharaj; harta milik umum; dan zakat. Bahkan ketika kas baitul maal kosong, sementara agenda ke dua tidak bisa ditunda, maka Khalifah bisa mengambil tabaru’at dari kaum muslimin. Dan jika tidak mencukupi, Daulah dibolehkan menetapkan kewajiban pajak dalam rangka memenuhi anggaran yang dibutuhkan. Sedang anggaran untuk melakukan upaya preventif dan kuratif salah satunya bisa diambil dari pos pemasukan pemilikan umum.

Kepentingan Indonesia hidup dalam sistem kehidupan Islam bukanlah semata-mata karena dorongan menyelamatkan generasi dari ancaman HIV, tetapi ini adalah kewajiban yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, karena sesungguhnya kaum muslimin hanya boleh hidup tanpa khilafah paling lama tiga hari saja. Sungguh kita merindukannya. Semoga melalui upaya ini Allah SWT mendekatkan pertolongan-Nya, memenuhi janjinya, kembalinya Khilafah Rasyidah ke dua dalam waktu dekat. Amien ya Allah. Wallahua’lam bish showab.(*)

Sumber :
Kholda Naajiyah, S.Si, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia.
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/12/01/solusi-islam-menghentikan-laju-hivaids/
1 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar