Minggu, 13 Desember 2009

Pintu Lain Penyebaran HIV/AIDS

Bento, 41 tahun, sebut saja demikian, sejak kecil sudah suka kepada sesama jenis. Dia mulai berhubungan seks sesama laki-laki di usia 15 tahun. Waktu itu dia duduk di sekolah menengah pertama.

Masa kuliah diisinya dengan warna-warni dunia gemerlap. Setiap pulang dugem pasti dilanjutkan dengan berhubungan seks dengan sesama jenis sambil mabuk. Bento tidak pernah berpikir memakai kondom. Selain itu, dia tidak tahu apa itu HIV/AIDS. "Malah sering banget beli laki-laki," ujarnya.

Di usia 38 tahun, Bento mendadak sakit parah. Dia terserang demam dan diare berkepanjangan. Berat badannya turun 5 kilogram. Oleh rumah sakit swasta terkenal di Jakarta, dia didiagnosis positif HIV. Bento langsung pucat, takut. Ia tak menyangka berakibat begini. Kini Bento telah mengubah pola hidup dan perilaku seksnya.

Perilaku seks Bento, menurut Deputi Sekretaris Bidang Pengembangan Program Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) Kemal Siregar, memang berisiko terinfeksi HIV (human immunodeficiency virus). Malah, kata Kemal, hubungan seks sesama lelaki lebih besar probabilitasnya terinfeksi HIV ketimbang heteroseks.

AIDS adalah sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV. Virus ini menular melalui cairan tubuh manusia, seperti darah, sperma, dan air susu ibu. Prosesnya bisa melalui hubungan seks, penggunaan jarum suntik, transfusi darah, dan dari ibu ke anak yang dikandungnya.

Data WHO dan UNAIDS memperkirakan jumlah orang terinfeksi HIV pada 2008 mencapai 33,4 juta di seluruh dunia. Jumlah total orang dengan HIV pada 2008 meningkat 20 persen dari 2000 dengan prevalensi tiga kali lebih besar ketimbang pada 1990.

Di Indonesia, data Departemen Kesehatan sampai dengan 30 September 2009 mencatat ada 46.702 orang hidup dengan HIV/AIDS (OHDA), yang terdiri atas 18.442 penderita AIDS dan 28.260 orang terinfeksi HIV.

Jumlah total OHDA tersebut meningkat 20 persen dari tahun lalu yang "hanya" 36.287 jiwa. "Seperti fenomena gunung es, jumlah ini hanya mewakili 10 persen dari angka sebenarnya," kata Nafsiah Mboi, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) di Jakarta, tiga pekan lalu.

Kasus HIV/AIDS di Indonesia bukan soal remeh, dengan lebih dari 50 persen orang yang terinfeksi berada dalam kelompok usia 15-29 tahun. Di tanah Papua, HIV telah menjadi epidemi. "Prevalensi HIV pada orang dewasa di Papua mencapai 2,4 persen, yang merupakan angka tertinggi di Indonesia," Nafsiah melanjutkan.

Masalah HIV/AIDS memang bukan sekadar angka dan data. Para ahli mengamati sedang terjadi pergeseran dalam cara penularan penyakit ini di Indonesia. Penyebaran melalui pemakaian narkoba suntik yang dipakai beramai-ramai, pada beberapa tahun terakhir, bergeser menjadi penyebaran melalui hubungan seks berisiko.

Berdasarkan laporan KPAN sepanjang triwulan pertama 2009, proporsi penularan melalui hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual, mencapai 60 persen, melalui jarum suntik 30 persen, sedangkan sisanya melalui transfusi darah dan dari ibu hamil ke janin yang dikandungnya.

Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin, rasio kasus AIDS laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Data KPAN memperkirakan kini ada sekitar 4 persen atau 3,3 juta lelaki Indonesia yang rajin mengunjungi wanita pekerja seks, 233 ribu lelaki pengguna narkoba suntik, dan 809 ribu lelaki yang melakukan hubungan seks dengan lelaki.

Permasalahan dalam masyarakat membuat penanggulangan masalah ini jadi semakin pelik. Misalnya dalam hal preferensi seksual. Tak semua pria yang berhubungan seks dengan pria adalah gay murni. Ada kasus seorang pria heteroseks menjadikan dorongan ekonomi sebagai alasan untuk menjual diri sebagai gay.

"Ada yang ingin beli BlackBerry tapi tidak mampu, akhirnya jual diri jadi gay," kata Kemal. Nah, menurut Kemal, kantong-kantong seperti ini banyak terdapat di kota besar seperti Jakarta dan Bandung.

Walhasil, prevalensi HIV/AIDS di kalangan LSL (lelaki sama lelaki) mencapai 5,2 persen. Angka itu berdasarkan Hasil Studi Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku Departemen Kesehatan 2007. Persentase ini dikaji dari sekitar 700 ribu gay, waria, dan LSL yang terhitung di Indonesia. "Ini masih akan meningkat jika tidak ada intervensi," ujar Wenita, konsultan pengembangan program KPAN.

Kemal menambahkan, jika dibandingkan dengan narkoba suntik (52,4 persen), waria (24,4 persen), dan perempuan pekerja seks (10,4 persen), prevalensi LSL memang lebih kecil. Namun, komunitas LSL ini tersembunyi sehingga cakupan program cuma merangkul 9 persen dari mereka.

Komunitas yang tersembunyi ini jadi sulit menjangkau informasi, termasuk mengenai kondom. Makanya, kata Kemal, angka penggunaan kondom pada GWL (gay, waria, dan LSL) menurun drastis. Sebaliknya, angka HIV pada GWL meningkat sangat tajam.

Menurut Tono Permana, Ketua Organisasi Gay, Waria, Lelaki Seks dengan Lelaki-Indonesia atau GWL-INA, dalam komunitasnya memang seperti dalam kasus Bento, banyak pelaku LSL yang ogah memakai kondom.

Padahal, menurut Nafsiah dalam acara National Condom Week menjelang peringatan Hari AIDS Sedunia, kondom bisa mengurangi penyebaran virus laten ini. Di Thailand, misalnya, program serupa berhasil menekan laju penyebaran HIV/AIDS hingga 83 persen dalam rentang 1991 sampai 2003.

Sumber :
HERU TRIYONO | AMANDRA MUSTIKA MEGARANI
http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2009/12/01/brk,20091201-211156,id.html
1 Desmber 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar