Minggu, 13 Desember 2009

Acquired Immuno Deficiency Syndrome


PERKEMBANGAN HIV/AIDS DI DUNIA :

Kasus pertama ditemukan di San Fransisco pada seorang gay tahun 1981.

Menurut UNAIDS(Badan PBB untuk penanggulangan AIDS) s/d akhir 1995, jumlah orang yang terinfeksi HIV (Human Immuno-deficiency Virus) di dunia telah mencapai 28 juta dimana 2,4 juta diantaranya adalah kasus bayi dan anak. Setiap hari terjadi infeksi baru sebanyak 8500 orang, sekitar 1000 diantaranya bayi dan anak.

Sejumlah 5,8 juta orang telah meninggal akibat AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome), 1,3 juta diantaranya adalah bayi dan anak. -AIDS telah menjadi penyebab kematian utama di Amerika Serikat, Afrika Sub-sahara dan Thailand. Di Zambia, epidemi AIDS telah menurunkan usia harapan hidup dari 66 tahun menjadi 33 tahun, di Zimbabwe akan menurun dari 70 tahun menjadi 4o tahun dan di Uganda akan turun dari 59 tahun menjadi 31 tahun pada tahun 2010.

POLA PENULARAN VIRUS AIDS :

Virus AIDS ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan paling banyak ditemukan pada darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lain juga bisa ditemukan (seperti misalnya cairan ASI) tetapi jumlahnya sangat sedikit.

Sejumlah 75-85% penularan terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar (terutama pada pemakai narkotika suntik), 3-5% melalui transfusi darah yang tercemar.

Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia produktif (15-49 tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung meningkat.

Infeksi pada bayi dan anak, 90% terjadi dari ibu yang mengidap HIV. Sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan oleh Ibu pengidap HIV akan menjadi pengidap HIV, melalui infeksi yang terjadi selama dalam kandungan, selama proses persalinan dan melalui pemberian ASI. Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, risiko penularan dapat dikurangi menjadi hanya 8%.

SIAPA YANG RAWAN TERHADAP VIRUS AIDS ? :

Infeksi virus AIDS terutama disebabkan oleh perilaku seksual berganti-ganti pasangan. Oleh karena itu yang paling berisiko untuk tertular AIDS adalah siapa saja yang mempunyai perilaku tersebut. Harus diingat bahwa perilaku seperti ini bukan hanya dimiliki oleh kelompok pekerja seks tetapi juga oleh kelompok lain seperti misalnya remaja, mahasiswa, eksekutif muda dsb. Jadi yang menjadi masalah disini bukan pada "kelompok" mana tetapi pada "perilaku" yang berganti-ganti pasangan.

PERJALANAN INFEKSI HIV/AIDS :

Pada saat seseorang terkena infeksi virus AIDS maka diperlukan waktu 5-10 tahun untuk sampai ke tahap yang disebut sebagai AIDS. Setelah virus masuk kedalam tubuh manusia, maka selama 2-4 bulan keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi dengan pemeriksaan darah meskipun virusnya sendiri sudah ada dalam tubuh manusia. Tahap ini disebut sebagai periode jendela. Sebelum masuk pada tahap AIDS, orang tersebut dinamai HIV positif karena dalam darahnya terdapat HIV. Pada tahap HIV+ ini maka keadaan fisik ybs tidak mempunyai kelainan khas ataupun keluhan apapun, dan bahkan bisa tetap bekerja seperti biasa. Dari segi penularan, maka dalam kondisi ini ybs sudah aktif menularkan virusnya ke orang lain jika dia mengadakan hubungan seks atau menjadi donor darah.

Sejak masuknya virus dalam tubuh manusia maka virus ini akan menggerogoti sel darah putih (yang berperan dalam sistim kekebalan tubuh) dan setelah 5-10 tahun maka kekebalan tubuh akan hancur dan penderita masuk dalam tahap AIDS dimana terjadi berbagai infeksi seperti misalnya infeksi jamur, virus-virus lain, kanker dsb. Penderita akan meninggal dalam waktu 1-2 tahun kemudian karena infeksi tersebut.

Di negara industri, seorang dewasa yang terinfeksi HIV akan menjadi AIDS dalam kurun waktu 12 tahun, sedangkan di negara berkembang kurun waktunya lebih pendek yaitu 7 tahun.

Setelah menjadi AIDS, survival rate di negara industri telah bisa diperpanjang menjadi 3 tahun, sedangkan di negara berkembang masih kurang dari 1 tahun. Survival rate ini berhubungan erat dengan penggunaan obat antiretroviral, pengobatan terhadap infeksi oportunistik dan kwalitas pelayanan yang lebih baik.

Pola infeksi secara global, sekitar 90% kasus HIV/AIDS ada di negara berkembang.
Saat ini penyebarannya adalah :

Afrika Sub-sahara : 14 juta
Asia Selatan-Tenggara : 4,8 juta
Asia Timur-Pasifik : 35.000
Timur Tengah : 200.000
Karibia : 270.000
Amerika Latin : 1,3 juta
Eropa Timur - Asia Tengah : 30.000
Australia : 13.000
Eropa Barat : 470.000
Amerika Utara : 780.000

Dengan globalisasi, pergerakan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, episentrum infeksi HIV/AIDS saat ini bergeser ke Asia.

PENCEGAHAN AIDS :

Pada prinsipnya, pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah penularan virus AIDS. Karena penularan AIDS terbanyak adalah melalui hubungan seksual maka penularan AIDS bisa dicegah dengan tidak berganti-ganti pasangan seksual. Pencegahan lain adalah melalui pencegahan kontak darah, misalnya pencegahan penggunaan jarum suntik yang diulang, pengidap virus tidak boleh menjadi donor darah.

Secara ringkas, pencegahan dapat dilakukan dengan formula A-B-C. A adalah abstinensia, artinya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. B adalah be faithful, artinya jika sudah menikah hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja. C adalah condom, artinya jika memang cara A dan B tidak bisa dipatuhi maka harus digunakan alat pencegahan dengan menggunakan kondom.

PREDIKSI YANG AKAN DATANG :

Tahun 2000, diperkirakan jumlah kasus HIV/AIDS akan meningkat menjadi 30-40 juta orang dan pertambahan kasus baru terbanyak akan ditemukan di Asia Selatan dan Tenggara.

Di negara industri telah terlihat penurunan jumlah kasus baru (insidens) per tahun. Di Amerika Serikat, telah turun dari 100.000 kasus baru/tahun menjadi 40.000 kasus baru/tahun. Pola serupa juga terlihat di Eropa Utara, Australia dan Selandia Baru.

Penurunan kasus baru berkait dengan tingkat pemakaian kondom, berkurangnya jumlah pasangan seks dan memasyarakatnya pendidikan seks untuk remaja.

Penurunan infeksi HIV juga terjadi sebagai dampak membaiknya diagnosa dini dan pengobatan yang adekwat untuk penyakit menular seksual (PMS). Di Tanzania, daerah yang pelayanan PMSnya berjalan baik mempunyai insidens HIV yang 40% lebih rendah. Penelitian di Pantai Gading, Afrika memperlihatkan bahwa pengobatan PMS juga mengurangi viral load sehingga mengurangi infectivity.

TAHAPAN PANDEMI AIDS :

Pada awalnya dimulai dengan penularan pada kelompok homoseksual (gay). Karena diantara kelompok homoseksual juga ada yang biseksual, maka infeksi melebar ke kelompok heteroseksual yang sering berganti-ganti pasangan.

Pada tahap kedua, infeksi mulai meluas pada kelompok pelacur dan pelanggannya.

Pada tahap ketiga, berkembang penularan pada isteri dari pelanggan pelacur.

Pada tahap ke empat mulai meningkat penularan pada bayi dan anak dari ibu yang mengidap HIV.

KERENTANAN WANITA PADA INFEKSI HIV :

Wanita lebih rentan terhadap penularan HIV akibat faktor anatomis-biologis dan faktor sosiologis-gender.

Kondisi anatomis-biologis wanita menyebabkan struktur panggul wanita dalam posisi "menampung", dan alat reproduksi wanita sifatnya "masuk kedalam" dibandingkan pria yang sifatnya "menonjol keluar". Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi infeksi khronik tanpa diketahui oleh ybs. Adanya infeksi khronik akan memudahkan masuknya virus HIV.

Mukosa (lapisan dalam) alat reproduksi wanita juga sangat halus dan mudah mengalami perlukaan pada proses hubungan seksual. Perlukaan ini juga memudahkan terjadinya infeksi virus HIV.

Faktor sosiologis-gender berkaitan dengan rendahnya status sosial wanita (pendidikan, ekonomi, ketrampilan). Akibatnya kaum wanita dalam keadaan rawan yang menyebabkan terjadinya pelcehan dan penggunaan kekerasan seksual, dan akhirnya terjerumus kedalam pelacuran sebagai strategi survival.

Kasus di Ghana dalam pembangunan Bendung Sungai Volta, menyebabkan ribuan penduduk tergusur dari kampung halamannya. Kaum pria bisa memperoleh kesempatan kerja sebagai buruh dan kemudian menjadi nelayan. Kaum wanita yang hanya terbiasa dengan pekerjaan pertanian akhirnya tersingkir ke kota dan terjerumus pada pekerjaan hiburan dan penyediaan jasa seksual. Akibatnya banyak yang menderita penyakit menular seksual (termasuk HIV) dan meninggal akibat AIDS.

Di Thailand Utara, akibat pembangunan ekonomi dan industri yang berkembang pesat menyebabkan lahan pertanian berkurang dan wanita tergusur dari pekerjaan tradisionalnya di bidang pertanian. Sebagian besar kemudian migrasi ke kota-kota besar dan menjadi pekerja seks dan akhirnya tertular oleh HIV.

SITUASI HIV/AIDS DI INDONESIA :

Sampai dengan bulan September 1996, jumlah kasus HIV/AIDS mencapai 449 orang, dengan kelompok umur terbanyak pada usia 20-29 tahun (47%) dan kelompok wanita sebanyak 27%. Kelompok usia produktif (15-49 tahun) mencapai 87%. Dilihat dari lokasi, kasus terbanyak ditemukan di DKI Jakarta, Irian Jaya dan Riau.

Jumlah kasus yang tercatat diatas adalah menurut catatan resmi yang jauh lebih rendah dari kenyataan sesungguhnya akibat keterbatasan dari sistem surveilance perangkat kesehatan kita.

Permasalahan HIV/AIDS di banyak negara memang memperlihatkan fenomena gunung es, dimana yang tampak memang jauh lebih kecil dibandingkan jumlah sesungguhnya.

Upaya penanggulangan AIDS di Indonesia masih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok seperti para pekerja seks dan waria, meskipun juga sudah digalakkan upaya yang ditujukan pada masyarakat umum, seperti kaum ibu, mahasiswa dan remaja sekolah lanjutan. Yang masih belum digarap secara memadai adalah kelompok pekerja di perusahaan yang merupakan kelompok usia produktif.

Proyeksi perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan akan menembus angka 1 juta kasus pada tahun 2005, dan sesuai pola epidemiologis yang ada maka jumlah kasus terbanyak akan ada pada kelompok usia produktif (patut diingat bahwa pada tahun 2003 Indonesia akan memasuki pasar bebas APEC dan membutuhkan SDM yang tangguh untuk bersaing di pasar global).

PENGOBATAN DAN VAKSINASI :

Pertemuan Konperensi Internasional AIDS ke XI di Vancouver bulan Juli 1996 yl melaporkan penggunaan tiga obat kombinasi (triple drugs) yang mampu menurunkan viral load hingga jumlah minimal dan memberikan harapan penyembuhan.

Kendala yang dihadapi untuk pengobatan adalah biaya yang mahal untuk penyediaan obat dan biaya pemantauan laboratorium, yang mencapai US$ 16.000 - US$ 25.000/tahun. Kendala lain adalah kepatuhan penderita untuk minum obat secara disiplin dalam jangka waktu 1,5 - 3 tahun, karena obat yang diminum secara tidak teratur akan menyebabkan resistensi.

Diperkirakan karena mahalnya biaya pengobatan, maka hanya ada 5-10% pengidap HIV yang mampu berobat dengan menggunakan triple drugs ini. Jika masalah biaya ini tidak bisa diatasi, maka adanya obat tidak akan mampu memberantas HIV/AIDS secara bermakna.

Penelitian untuk menemukan vaksi pencegahan HIV juga terus dilakukan. Biaya vaksinasi diperkirakan tidak akan semahal triple drugs. Seandainyaoun ditemukan vaksin untuk pencegahan HIV, kendalanya adalah harus dicapainya jumlah cakupan vaksinasi yang tinggi (80%) jika diinginkan dampak pemberantasan HIV. Untuk mencapai cakupan sebesar ini, diperkirakan akan membutuhkan biaya yang cukup mahal dan sulit disediakan oleh negara berkembang.

Dampak sampingan dari mahalnya obat dan ketersediaan biaya untuk pelaksanaan vaksinasi, menyebabkan munculnya isu diskriminasi baru yaitu kaya dan miskin. Pengidap HIV yang kaya akan mampu menyediakan biaya untuk triple drugs, tetapi yang miskin tetap akan mati. Negara industri kaya bisa menyediakan biaya untuk mencapai cakupan vaksinasi yang tinggi, sedangkan negara berkembang mungkin tidak akan mampu.

KESIMPULAN :

Upaya pencegahan tetap lebih baik dan cost-effective dibandingkan dengan upaya pengobatan. Untuk itu perlu dimasyarakatkan upaya pencegahan AIDS bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk untuk kelompok remaja-mahasiswa.

Sumber :
dr. Adi Sasongko, MA - Yayasan Kusuma Buana, Jakarta
http://www.petra.ac.id/science/aids/aids6a.htm

Sumber Gambar:
http://www.teenaids.org/Portals/0/Images/whatIsAIDS-pic3.gif

Lebih Jauh dengan HIV/AIDS dan Penanggulangannya


Sampai kini, mendengar kata HIV/AIDS seperti momok yang mengerikan. Padahal jika dipahami secara logis, HIV/AIDS bisa dengan mudah dihindari. Bagaimana itu?

Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia telah bergerak dengan laju yang sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 1987, kasus HIV/AIDS ditemukan untuk pertama kalinya hanya di Pulau Bali. Sementara sekarang (2007), hampir semua provinsi di Indonesia sudah ditemukan kasus HIV/AIDS.

Permasalahan HIV/AIDS telah sejak lama menjadi isu bersama yang terus menyedot perhatian berbagai kalangan, terutama sektor kesehatan. Namun sesungguhnya masih banyak informasi dan pemahaman tentang permasalahan kesehatan ini yang masih belum diketahui lebih jauh oleh masyarakat.

HIV adalah virus penyebab AIDS. HIV terdapat dalam cairan tubuh seseorang seperti darah, cairan kelamin (air mani atau cairan vagina yang telah terinfeksi) dan air susu ibu yang telah terinfeksi. Sedangkan AIDS adalah sindrom menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Orang yang mengidap AIDS amat mudah tertular oleh berbagai macam penyakit karena sistem kekebalan tubuh penderita telah menurun.HIV dapat menular ke orang lain melalui :

1. Hubungan seksual (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi (tanpa kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV.
2. Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian
3. Mendapatkan transfusi darah yang mengandung virus HIV
4. Ibu penderita HIV Positif kepada bayinya ketika dalam kandungan, saat melahirkan atau melalui air susu ibu (ASI)

Penularan

HIV tidak ditularkan melalui hubungan sosial yang biasa seperti jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar mandi atau WC/Jamban yang sama atau tinggal serumah bersama Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). ODHA yaitu pengidap HIV atau AIDS. Sedangkan OHIDA (Orang hidup dengan HIV atau AIDS) yakni keluarga (anak, istri, suami, ayah, ibu) atau teman-teman pengidap HIV atau AIDS.

Lebih dari 80% infeksi HIV diderita oleh kelompok usia produktif terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita HIV perempuan cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90 % terjadi dari Ibu pengidap HIV. Hingga beberapa tahun, seorang pengidap HIV tidak menunjukkan gejala-gejala klinis tertular HIV, namun demikian orang tersebut dapat menularkan kepada orang lain. Setelah itu, AIDS mulai berkembang dan menunjukkan tanda-tanda atau gejala-gejala.Tanda-tanda klinis penderita AIDS :

1. Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan
2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3. Demam berkepanjangan lebih dari1 bulan
4. Penurunan kesadaran dan gangguan-gangguan neurologis
5. Dimensia/HIV ensefalopati

Gejala minor :

1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2. Dermatitis generalisata yang gatal
3. Adanya Herpes zoster multisegmental dan berulang
4. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

HIV dan AIDS dapat menyerang siapa saja. Namun pada kelompok rawan mempunyai risiko besar tertular HIV penyebab AIDS, yaitu :

1. Orang yang berperilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom
2. Pengguna narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama
3. Pasangan seksual pengguna narkoba suntik
4. Bayi yang ibunya positif HIV

HIV dapat dicegah dengan memutus rantai penularan, yaitu ; menggunakan kondom pada setiap hubungan seks berisiko,tidak menggunakan jarum suntik secara bersam-sama, dan sedapat mungkin tidak memberi ASI pada anak bila ibu positif HIV. Sampai saat ini belum ada obat yang dapat mengobati AIDS, tetapi yang ada adalah obat untuk menekan perkembangan virus HIV sehingga kualitas hidup ODHA tersebut meningkat. Obat ini harus diminum sepanjang hidup.

Skrining Dengan Teknologi Modern

Sebagian besar test HIV adalah test antibodi yang mengukur antibodi yang dibuat tubuh untuk melawan HIV. Ia memerlukan waktu bagi sistim imun untuk memproduksi antibodi yang cukup untuk dideteksi oleh test antibodi. Periode waktu ini dapat bervariasi antara satu orang dengan orang lainnya. Periode ini biasa diseput sebagai ‘periode jendela’. Sebagian besar orang akan mengembangkan antibodi yang dapat dideteksi dalam waktu 2 sampai 8 minggu. Bagaimanapun, terdapat kemungkinan bahwa beberapa individu akan memerlukan waktu lebih lama untuk mengembangkan antibodi yang dapat terdeteksi. Maka, jika test HIV awal negatif dilakukan dalam waktu 3 bulan setelah kemungkinan pemaparan kuman, test ulang harus dilakukan sekitar 3 bulan kemudian, untuk menghindari kemungkinan hasil negatif palsu. 97% manusia akan mengembangkan antibodi pada 3 bulan pertama setelah infeksi HIV terjadi. Pada kasus yang sangat langka, akan diperlukan 6 bulan untuk mengembangkan antibodi terhadap HIV.

Tipe test yang lain adalah test RNA, yang dapat mendeteksi HIV secara langsung. Waktu antara infeksi HIV dan deteksi RNA adalah antara 9-11 hari. Test ini, yang lebih mahal dan digunakan lebih jarang daripada test antibodi, telah digunakan di beberapa daerah di Amerika Serikat.

Dalam sebagian besar kasus, EIA (enzyme immunoassay) digunakan pada sampel darah yang diambil dari vena, adalah test skrining yang paling umum untuk mendeteksi antibodi HIV. EIA positif (reaktif) harus digunakan dengan test konformasi seperti Western Blot untuk memastikan diagnosis positif. Ada beberapa tipe test EIA yang menggunakan cairan tubuh lainnya untuk menemukan antibodi HIV. Mereka adalah

Test Cairan Oral. Menggunakan cairan oral (bukan saliva) yang dikumpulkan dari mulut menggunakan alat khusus. Ini adalah test antibodi EIA yang serupa dengan test darah dengan EIA. Test konformasi dengan metode Western Blot dilakukan dengan sampel yang sama.

Test Urine. Menggunakan urine, bukan darah. Sensitivitas dan spesifitas dari test ini adalah tidak sebaik test darah dan cairan oral. Ia juga memerlukan test konformasi dengan metode Western Blot dengan sampel urine yang sama.

Jika seorang pasien mendapatkan hasil HIV positif, itu tidak berarti bahwa pasangan hidup dia juga positif. HIV tidak harus ditransmisikan setiap kali terjadi hubungan seksual. Satu-satunya cara untuk mengetahui apakah pasangan hidup pasien tersebut mendapat HIV positif atau tidak adalah dengan melakukan test HIV terhadapnya.Test HIV selama kehamilan adalah penting, sebab terapi anti-viral dapat meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan kemungkinan dari wanita hamil yang HIV positif untuk menularkan HIV pada anaknya pada sebelum, selama, atau sesudah kelahiran. Terapi sebaiknya dimulai seawal mungkin pada masa kehamilan.

Di Indonesia, rumah sakit besar di ibu kota provinsi telah menyediakan fasilitas untuk test HIV/AIDS. Di Jakarta, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah sakit lain juga sudah memiliki fasilitas untuk itu. Di Bandung, RS Hasan Sadikin juga sudah memiliki fasilitas yang sama.

Daftar Pustaka

http://www.depkes.go.id/. Fakta Tentang HIV dan AIDS. 05 Dec 2006.

http://www.depkes.go.id/. Kumulatif Kasus HIV/AIDS di Indonesia. 2006.

http://www.hivtest.org/. Frequently Asked Question on HIV/AIDS. 2007.

Sumber :
Arli Aditya Parikesit
http://netsains.com/2008/02/lebih-jauh-dengan-hivaids-dan-penanggulanggannya/
12 Februari 2008

Sumber Gambar:
http://www.declarepeace.org.uk/captain/murder_inc/site/pics/AIDS_2004_graphic.jpg

Solusi Islam Menghentikan Laju HIV/AIDS

Tanggal 1 Desember diperingati sebagai hari anti Aids sedunia. Meski tiap tahun diperingati agar orang menyadari bahaya HIV/Aids, nyatanya jumlah penderita Aids makin meningkat. Departemen Kesehatan memperkirakan, 19 juta orang saat ini berada pada risiko terinfeksi HIV. Sedangkan berdasarkan data Yayasan AIDS Indonesia (YAI), jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh Indonesia per Maret 2009, mencapai 23.632 orang. Angka tersebut meningkat tajam bila dibandingkan jumlah penderita HIV/AIDS sepanjang 2008 yang mencapai 22.262 orang.

Tentu saja angka ini ibarat fenomena gunung es, dimana yang terlihat hanya permukaannya saja. Angka sebenarnya jauh lebih besar karena orang dengan HIV/Aids (ODHA) masih banyak yang tidak terdata disebabkan enggan memeriksakan diri karena takut dan malu.

Sejatinya, sudah banyak upaya dilakukan pemerintah dan berbagai pihak yang peduli untuk menghentikan laju HIV/Aids. Secara resmi program pemerintah dituangkan dalam paradigma kesehatan reproduksi, yakni melalui kampanye ABCD. A artinya absentia atau jangan berhubungan seks sama sekali jika tidak ingin terkena HIV/Aids. B atau be faithful, artinya setia pada pasangan. C alias condomisasi, dimana bagi siapa saja yang tidak bisa A dan B, dipersilakan memakai kondom. Dan D atau drugs, artinya jangan pake narkoba.

Namun, kampanye ABCD ini tidak efektif untuk mengerem laju HIV/Aids, malah cenderung semakin memperbesar angka penderita ODHA. Bagaimana tidak, dengan kampanye kondomisasi misalnya, masyarakat seolah diajari untuk melakukan seks bebas karena sudah dijamin aman dari HIV/Aids asal memakai kondom. Ditambah lagi, perilaku yang mengarah pada seks bebas dibiarkan. Seperti maraknya pornografi dan pornoaksi.

Selain itu, pemakai narkoba juga semakin mendapat angin karena berbagai kebijakan malah memberi peluang untuk mengakses barang laknat itu. Misalnya substitusi narkoba dengan metadon, pelegalan jarum suntik untuk pecandu serta adanya wacana untuk tidak menghukum pengguna narkoba. Makin banyaknya pengguna narkoba membuat peluang munculnya ODHA semakin besar. Apalagi Indonesia ditengarai sebagai surga bagi peredaran narkoba.
Solusi Islam

Diakui atau tidak, akar masalah berkembangnya penyakit HIV/Aids adalah perilaku yang menyimpang dari ketentuan Allah Swt. Seperti diketahui, sejarah ditemukannya virus mematikan itu bermula dari kaum homoseksual. Padahal dalam Islam, hubungan seks sesama jenis melanggar syariat alias diharamkan. Adapun penularan HIV/Aids yang kebanyakan melalui jarum suntik pecandu narkoba, adalah juga melanggar larangan Allah Swt. Karena itu, upaya preventif penularan HIV/Aids adalah dengan meninggalkan gaya hidup liberal yang menyimpang dari syariat Islam.

Negara Khilafah wajib memberantas berbagai sarana yang berhubungan dengan penularan penyakit tersebut untuk melindungi seluruh warga negaranya. Terkait dengan penularan HIV/Aids yang kebanyakan terjadi karena pemakaian jarum suntik oleh pecandu narkoba, maka negara wajib menghentikan peredaran narkoba tersebut. Para pelaku yang terlibat dalam jaringan bisnis narkoba harus dihukum berat. Pecandu yang sudah tobat harus diawasi agar tidak kambuh lagi dan yang belum tobat diberi sanksi agar jera melakukan hal yang sama.

Penularan HIV/Aids melalui hubungan seks bisa dicegah dengan menutup lokalisasi pelacuran yang selama ini menjadi lokasi berisiko tinggi terjadi perpindahan virus HIV. Para pelacur yang biasa beroperasi harus diberi sanksi tegas karena telah melakukan perzinaan yang melanggar tata susila di masyarakat. Demikian pula pengguna jasa mereka, harus dikenai sanksi. Mereka pun harus diperiksa apakah sudah terinveksi HIV/Aids. Jika sudah, maka wajib untuk dikarantina.

Departemen Luar Negeri Khilafah wajib membatalkan segala konvensi internasional yang membentuk mindset permissive di tengah masyarakat, dan menfasilitasi perilaku seks bebas dan penyalahgunaan narkotika. Negara juga harus melepaskan diri dari kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga internasional dalam hal ini WHO, UINAIDS, NODOC, karena terbukti semakin menguatkan ancaman bahaya HIV dan seks bebas.

Sementara itu dalam negeri, Khalifah menerapkan Islam secara kaafah, yaitu sistem pendidikan Islam yang akan membentuk individu yang berkepribadian islam; sistem ekonomi Islam yang mensejahterakan semua orang serta menjauhkan dari segala perbuatan maksiat; menerap sistem pergaulan Islam yang membersihkan masyarakat dari perilaku seks bebas dan akhlak yang rendah; menerapkan sistem sangsi yang sesuai syariat yang membuat masyarakat takut dan berhati-hati melanggar aturan Allah swt.

Karena itu Khalifah melarang perzinahan termasuk berduaan tanpa ada kepentingan yang dibolehkan syara’ dan dijatuhkan sangsi bagi pelanggarnya. Yang demikian karena Islam mengharamkan perbuatan ini, sebagaimana hadist Rasulullah saw yang artinya “Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi (bukan muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga“. (HR Baihaqi). Adapun larangan perbuatan zina, Allah SWT sampaikan pada QS 17:32, yang artinya “Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan“.

Berbagai sarana perangsang seks harus disterilkan dari tempat-tempat umum guna mencegah perzinaan. Poster, majalah, buku, VCD atau koran porno dilarang beredar. Aksi porno di televisi baik melalui acara musik, film maupun komedi harus dihentikan. Hal ini untuk mencegah liarnya nafsu seks masyarakat hingga menghalalkan segala cara untuk memenuhinya, termasuk melalui hubungan seks yang berisiko tinggi menularkan HIV.

Segala cela bagi hadirnya perilaku homoseks (laki-laki dengan laki-laki) dan lesbian (perempuan dengan perempuan) wajib ditutup. Karena Allah swt mengutuk kedua perbuatan ini, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS 7:80-81, yang artinya “Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: Mengapa kamu mengerjakan perbuatan kotor itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun manusia (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka ), bukan kepada wanita. Bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”.

Khilafah akan melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi dan pornoaksi. Karena Islam melarang seorang pria dan wanita melakukan kegiatan dan pekerjaan yang menonjolkan sensualitasnya. Rafi’ ibnu Rifa’a pernah bertutur demikian, yang artinya “Nabi Saw telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda “Seperti inilah jari-jemarinya yang kasar sebagaimana halnya tukang roti, pemintal, atau pengukir.”

Khalifah juga mendorong dan menfasilitasi masyarakat untuk hidup bersih. Membentuk mindset pentingnya kebersihan untuk menghindari penularan HIV melalui program di berbagai media masa. Secara praktis upaya promosi kesehatan ini dapat dilakukan oleh Departemen penerangan Khilafah.

Khalifah (yang secara praktis dilakukan Departemen terkait) menjamin penyediaan fasilitas umum yang sesuai syariat, sehat dan bersih. Rasulullah saw bersabda, yang artinya:”Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan, Mahabersih dan mencintai kebersihan, Mahamulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi” (HR At-Tirmidzi dan Abu Ya’la). Demikianlah cara Khilafah melakukan upaya preventif.

Sementara jika suatu penyakit itu sudah menjadi bahaya di masyarakat, negara wajib melakukan upaya pengobatan sesuai prinsip-prinsip syariat Islam. Yaitu, antara lain tidak membahayakan, tidak menggunakan bahan-bahan yang diharamkan, mendorong dan menfasilitasi penderita untuk semakin taqwa kepada Allah swt.

Untuk itu, negara harus melakukan isolasi terhadap para penderitanya agar tidak menularkan pada yang lain. Daerah yang menjadi endemik harus diisolasi, atau penderitanya dikarantina pada suatu lokasi tertentu. Ini bukan berarti mereka dikucilkan atau didiskriminasi, karena hak-hak mereka sebagai manusia dan warga negara harus tetap dipenuhi. Seperti hak mendapatkan kebutuhan pokok, pendidikan, sarana kesehatan, dll. Jadi tidak ada alasan untuk mencegah diskriminasi maka ODHA justru dibaurkan dengan masyarakat kebanyakan.

Terakhir, negara wajib mengerahkan segenap kemampuan untuk mencari obat guna mengatasi penyebaran penyakit yang membahayakan warga negaranya. Negara melalui para ilmuwannya bisa melakukan berbagai riset untuk menemukan obat pencegah maupun penyembuh penyakit tersebut.

Khalifah wajib memberikan pengobatan gratis bagi para penderita HIV yang memiliki hak hidup. Selain gratis, juga mudah dijangkau semua kalangan dan dalam jumlah memadai. Karena kesehatan termasuk kebutuhan pokok publik yang wajib dijamin pemenuhannya oleh Negara. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw yang artinya, “Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

Hanya saja haruslah dilakukan screening masal terlebih dahulu untuk mengetahui pengidap yang tidak terlihat sebagai pengidap HIV, sementara itu ia bisa menularkan kuman HIV dan kuman HIV sudah “tersebar” di tengah masyarakat.

Upaya kuratif ini dilakukan oleh Departemen Kemaslahatan Umat, Bidang kesehatan. Dalam hal ini dibutuhkan tenaga medis yang profesional dibidangnya, seperti dokter, perawat, laboran, apoteker.

Departemen industri bidang farmasi dan peralatan medis harus difasilitasi untuk memproduksi peralatan medis, obat-obatan yang dibuthkan untuk pengobatan HIV. Industri farmasi juga harus didorong untuk memproduksi sarana dan prasaran yang dibutuhkan untuk rapid test (pemeriksaan cepat).

Khalifah juga wajib memotivasi danmenfasilitasi para ahli di bidang biomedik, para dokter, ahli farmasi untuk menemukan obat HIV yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya. Karena sesungguhnya setiap penyakit pasti ada obatnya. Rasulullah saw bersabda, yang artinya “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat yang tepat diberikan, dengan izin Allah, penyakit itu akan sembuh.”(HR Ahmad dan Hakim).

Selain itu, Khaligah juga harus memutuskan dan mencabut segala perjanjian yang bersifat mengebiri dan menjajah Indonesia di bidang industri farmasi dan kesehatan

Dalam upaya pencegahan penyebaran penyakit pada orang yang sehat, Khalifah wajib menyediakan rumah sakit atau tempat perawatan khusus bagi pasien penderita HIV yang memiliki hak hidup. Seperti penderita HIV akibat efek spiral (anak yang HIV karena orang tuanya pengidap HIV). Dan selama masa perawatan pengidap penyakit diisolasi dari orang yang sehat, sedemikian rupa sehingga penularan dapat dicegah. Hal ini karena Rasulullah saw bersabda, yang artinya: “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menularkan kepada yang sehat” (HR Bukhari). Demikian pula sabda beliau, yang artinya “Apabila kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya dan apabila wabah itu berjangkit sedangkan kamu berada dalam negeri itu , janganlah kamu keluar melarikan diri” (HR. Ahmad, Bukhori, Muslim dan Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf).

Adapun untuk melakukan semua itu saat ini sangatlah mungkin. Karena sesungguhnya Indonesia memiliki SDM yang unggul, misal ahli biomedik, biologi molekuler, tekhnik kimia, kefarmasian yang berpotensi menjadi pakar masa depan dalam pembangunan senjata biologi Daulah. Pelaksanaan sistem pendidikan berdasarkan aqidah Islam akan mempercepat proses penyediaan SDM yang dibutuhkan.

Memang, upaya preventif maupun kuratif itu butuh anggaran besar. Pengelolaan baitul maal yang efektif yang ditopang dengan berjalannya sistem perekonomian yang sesuai syaraiat Islam, memungkinkan negara mampu membiayai berbagai kebutuhan yang diperlukan. Apa lagi Indonesia memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, yang merupakan salah satu pos pemasukan keuangan negara yang sangat penting dan strategis.

Anggaran untuk pos jihad dapat diambil dari sumber pemasukan baitul maal mana saja, yang meliputi Fa-i dan kharaj; harta milik umum; dan zakat. Bahkan ketika kas baitul maal kosong, sementara agenda ke dua tidak bisa ditunda, maka Khalifah bisa mengambil tabaru’at dari kaum muslimin. Dan jika tidak mencukupi, Daulah dibolehkan menetapkan kewajiban pajak dalam rangka memenuhi anggaran yang dibutuhkan. Sedang anggaran untuk melakukan upaya preventif dan kuratif salah satunya bisa diambil dari pos pemasukan pemilikan umum.

Kepentingan Indonesia hidup dalam sistem kehidupan Islam bukanlah semata-mata karena dorongan menyelamatkan generasi dari ancaman HIV, tetapi ini adalah kewajiban yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, karena sesungguhnya kaum muslimin hanya boleh hidup tanpa khilafah paling lama tiga hari saja. Sungguh kita merindukannya. Semoga melalui upaya ini Allah SWT mendekatkan pertolongan-Nya, memenuhi janjinya, kembalinya Khilafah Rasyidah ke dua dalam waktu dekat. Amien ya Allah. Wallahua’lam bish showab.(*)

Sumber :
Kholda Naajiyah, S.Si, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia.
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/12/01/solusi-islam-menghentikan-laju-hivaids/
1 Desember 2009

Harimau Diduga Pembawa Virus HIV

PENELITIAN terbaru menyatakan bahwa akar dari virus penyebab AIDS kemungkinan berasal dari harimau yang hidup ribuan atau jutaan tahun lalu. Menurut peneliti, virus HIV penyebab AIDS membawa materi genetik harimau dan materi genetik tersebut masih tetap terkandung di dalam virus hingga saat ini. Harimau tersebut, kemungkinan telah menggigit monyet, memicu evolusi virus yang akhirnya menginfeksi manusia.

Penemuan ini, menurut peneliti, belum menawarkan terobosan baru yang langsung bisa digunakan dalam menangani AIDS. Tapi, temuan ini memperluas pemahaman mengenai cara kerja virus tersebut.

"Jika tidak benar-benar memahami cara kerja virus ini, langkah-langkah pasti proses kimia, maka Anda tidak bisa secara rasional mendisain terapi baru yang efektif melawan virus," terang co-author studi Robert Bambara, Ketua Departemen Biokimia dan Biofisika dari University of Rochester, seperti dikutip situs healthday.

Bambara dan teman-temannya menemukan hal ini saat mencari tahu cara kerja virus HIV dalam membajak sel-sel dan menggunakan sel-sel tersebut untuk bereproduksi. Mereka menemukan sebuah gen di dalam virus yang kemungkinan berasal dari harimau kuno yang terinfeksi.

"Virus mengambil beberapa sel mesin yang telah terinfeksi merupakan kasus yang sangat jarang terjadi dan bukan hal biasa."

Peneliti menyatakan bahwa HIV sebelumnya kemungkinan adalah virus kucing sebelum virus tersebut menyerang monyet dan manusia. Kemungkinan seekor harimau telah menggigitt monyet dan mengirim virus dengan cara tersebut.

Simian Immunodeficiency Virus

Selanjutnya, para peneliti berharap bisa menentukan apakah sepupu virus AIDS manusia yang terdapat pada monyet, dikenal dengan simian immunodeficiency virus (SIV), berevolusi untuk memiliki gen harimau atau tidak.

Jika ada hubungan antara kehadiran gen tersebut dan kekuatan virus, terang Bambara, maka hal tersebut akan sangat berguna bagi para ilmuwan untuk menemukan cara yang lebih baik dalam menangani manusia.

Akan tetapi, terang Matthew E. Portnoy dari National Institute of General Medical Sciences, sangat penting untuk mengingat bahwa penelitian dasar ini belum akan mendatangkan manfaat langsung bagi orang dengan HIV."Penelitian ini mengindikasikan bahwa dengan semakin banyaknya penelitian dasar dan klinis yang mengikuti penelitian ini, maka diharapkan akan ditemukan terapi HIV baru." (OL-08)

Sumber :
Ikarowina Tarigan
http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/12/12/1917/2/Harimau-Diduga-Pembawa-Virus-HIV
12 Desember 2009

Jatim Tempati Ranking Tiga Kasus HIV/AIDS

Jawa Timur harus lebih giat memberantas penyebaran HIV/AIDS. Sebab hingga saat ini provinsi tersebut berada di peringkat ketiga dari jumlah penderita penyakit ini setelah DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Hingga September 2009 lalu, jumlah penderita HIV/AIDS di Jatim sebanyak 7.019 orang yang saat ini sedang menjalani perawatan di 18 rumah sakit yang tersebar di Jatim.

"Meskipun yang terdeteksi hanya sekitar 7 ribu lebih, tetapi diperkirakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Jatim sebesar 20.810 orang," kata Wagub Jatim Saifullah Yusuf saat mengunjungi pusat rehabilitasi penderita HIV/AIDS di RSU Dr Soetomo Surabaya, dalam rangka Hari AIDS se-dunia, Selasa 1 Desember 2009.

Menurut Saifullah Yusuf, seluruh komponen di Jatim memang harus memiliki kepedulian tinggi pada upaya penanggulangan HIV/AIDS ini. "Termasuk masalah anggaran, memang kita harus menyiapkan lebih besar untuk penanganan penyakit yang mematikan ini,' tambahnya.

Dari realitas yang ada, lanjutnya, banyak di antara penderita terdeteksi pada kondisi sudah menderita AIDS. Padahal proses dari saat orang tersebut tertular virus HIV sampai ke tahap menderita AIDS sebenarnya membutuhkan waktu yang lama. "Inilah yang kami sebut dengan fenomena gunung es. Yang terdeteksi menderita HIV/AIDS sangat kecil dibanding dengan penderita yang sebenarnya," urainya.

Sementara itu, Ketua Tim HIV/AIDS RSU Dr Soetomo, Prof Jusuf Barakbah mengatakan, penanganan penyebaran HIV/AIDS ada tiga tahap, yakni melalui promotif, pencegahan dan deteksi dini. “Masalahnya banyak orang yang tidak mau melakukan tes sukarela untuk mendeteksi dini apakah mereka tertular HIV atau tidak,” kata Jusuf.

Dari data HIV/AIDS dunia, sejak tahun 2004 hingga Oktober 2008 lalu, sebanyak 50-60 juta orang terinfeksi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 20 juta penderita adalah para wanita, dan 5 persen di antaranya adalah wanita hamil. "Dari data tim AIDS dunia, rata-rata 16 ribu orang tertular tiap hari," tambahnya.

Para penderita, lanjutnya, 80 persen merupakan usia produktif, yakni usia antara 15-39 tahun. Sedangkan jumlah penderita HIV/AIDS di dunia, sebanyak 80 persen berada di wilayah Asia dan Afrika, termasuk Indonesia.

Di Indonesia hingga akhir Maret 2009 lalu, terdeteksi sebanyak 6.668 orang dinyatakan positif tertular HIV. Tapi anehnya, sebanyak 16.964 orang dinyatakan menderita AIDS. "Ini menunjukkan bahwa banyak penderita yang terdeteksi pada kondisi sudah menderita AIDS. Makanya perlu deteksi dini, dan itu dibutuhkan adanya pemeriksaan secara sukarela," ungkapnya.

Di sisi lain, Jusuf membenarkan bahwa Jatim menempati ranking ketiga dari jumlah penderita HIV/AIDS di bawah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Tetapi kalau dilihat dari prosentase jumlah penderita dibanding dengan jumlah penduduk, Papua masih menempati posisi teratas.

Sumber :
Amril Amarullah
Laporan: Tudji Martudji | Surabaya
http://nasional.vivanews.com/news/read/110424-jatim_tempati_ranking_tiga_kasus_hiv_aids
2 Desember 2009

HIV-AIDS Sudah Masuk ke Separuh Kabupaten se Indonesia

PENULARAN virus HIV/AIDS kini semakin gawat dan serius di Indonesia. Bahkan Menko Kesra Agung Laksono menilai virus dan penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh ini makin cepat menyebar sehingga memerlukan penanganan seluruh komponen masyarakat, terutama kaum muda.

“Masalah penularan virus HIV/AIDS sudah begitu serius. Kaum muda saya harap berada di garis depan untuk mengkampanyekan pentingnya setia pada pasangan hidup, hindari jarum suntik narkoba, taat agama, menggalakkan pemakaian kondom, dll,” tandas Agung saat penandatangan nota kesepakatan bersama di acara peresmian Pekan Kondom Nasional (PKN) 2009 yang digelar bersamaan dengan Seminar Nasional AIDS di Jakarta, Senin (30/11).

Hadir sebagai pembicara seminar : Nafsiah Mboi (Sekretaris KPA Nasional), Sugiri Syarief (Kepala BKKBN), Evodia A. Iswandi (Country Manager Indonesian Business Coalition on AIDS), dan Nancy Fee (UNAIDS).

Menko Kesra yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional itu menambahkan, saat ini di Indonesia hampir tidak ada provinsi yang dinyatakan bebas HIV dan AIDS.

Dia menyebutkan, lima provinsi dengan jumlah penderita AIDS tertinggi yakni Papua 17,9 kali angka nasional, Bali (5,3), DKI Jakarta (3,8), Kepulauan Riau (3,4), dan Kalimantan Barat (2,2). Bahkan, HIV dan AIDS diprediksi telah ditemukan di lebih dari separuh jumlah kabupaten dan kota di Indonesia.

”Semua elemen masyarakat harus melakukan tindakan nyata untuk mencegah HIV dan AIDS. Kami harap kaum muda berada di garis depan menyosialisasikan pencegahan penularan,” tegas mantan Ketua DPR RI periode 2004-2009 tersebut.

Agung mengakui, kendala dalam penanggulangan HIV dan AIDS yakni belum memadainya cakupan dan efektivitas program untuk mencapai target universal. Kendala lain, sistem pelayanan kesehatan yang belum merata di seluruh daerah.

Menurut Menko Kesra, epidemi HIV telah berkembang sangat pesat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kasus ini telah mengakibatkan kematian 25 juta orang dan saat ini telah terdapat lebih dari 33 juta orang yang hidup dengan HIV.

Sementara itu, berdasarkan data Departemen Kesehatan, hingga September 2009, total kasus AIDS yang dilaporkan mencapai 18.442 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13.654 pria, 4701 perempuan, dan 87 lainnya tidak diketahui.

NAFSIAH MBOI: WANITA RENTAN TERTULAR

Pada kesempatan sama, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Nafsiah Mboi mengatakan, jumlah wanita Indonesia terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) meningkat tajam.

“Bukan karena mereka pelacur, tapi karena menikah dengan laki-laki yang kena HIV. Suami mereka ternyata pengguna narkoba suntik. Masyarakat harus tahu bahwa angka AIDS saat ini sudah sangat tinggi. Pendidikan agama, seks dan penggunaan kondom harus diprioritaskan,” tandas Nafsiah Mboi yang sangat menganjurkan penggunaan kondom sebagai langkah preventif penularan HIV/AIDS.

Berdasarkan data Depkes 2009, sebanyak 8,2 juta lelaki membeli seks dan 6,1 juta perempuan menikah dengan lelaki yang terinveksi HIV. Penularan HIV/AIDS kini lebih banyak akibat penggunaan jarum suntik narkoba secara bergantian. Kaum istri mendapat getahnya akibat berhubungan dengan suami mereka yang pecandu narkoba pakai alat suntik.

“Jadi bisa dibayangkan betapa besar kemungkinan virus HIV penyebab AIDS menyebar. Yang paling kasihan adalah perempuan-perempuan yang positif HIV, tapi notabene bukan pelacur atau PSK. Jadi epidemi ini harus dimengerti secara mendalam, jangan hanya memberikan stigma buruk untuk penderita HIV/AIDS,” jelas Mboi.

Mboi menjelaskan bahwa faktor pencegahan HIV dan AIDS yang utama adalah dengan pendidikan agama. “Itu sebabnya Menteri Agama juga jadi bagian dari anggota penanggulangan AIDS,” ujar Mboi.

Kedua adalah pendidikan dan pemberdayaan remaja untuk say no to drugs dan free sex. Ketiga adalah penjangkauan di tempat kerja dengan fokus lelaki dan yang terakhir adalah perlindungan perempuan dan remaja putri, serta penggunaan kondom.

“Saya sudah sering dicaci maki dan difitnah menyebarluaskan seks bebas karena menyosialisasikan kondom, tapi kita harus realistis, angka-angka tentang HIV/AIDS sudah semakin tak terbendung,” ujar Mboi.
“Kondom adalah cara efektif menghindari HIV AIDS,” serunya. “Jika kampanye kami mencapai target, maka pada 2010 ada 1,2 juta orang bisa diselamatkan dari AIDS,” cetusnya.

PRINSIPIL KONDOM DUKUNG

Terkait soal ini, prinsipal kondom di Indonesia sepakat mendukung program Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional dalam mencegah penyebaran virus HIV yang diakibatkan kegiatan seksual berisiko.

Para prinsipal kondom swasta itu, bersama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Departemen Kesehatan RI dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) menandatangani nota kesepakatan bersama.

Mereka mendukung program Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional dalam mencegah penyebaran virus HIV dengan memperluas sosialisasi dan akses masyarakat pada penggunaan kondom pada setiap hubungan seksual berisiko. Hal itu juga sebagai tanggapan terhadap tema Hari AIDS Sedunia 2009 yakni “Akses Universal dan Hak Asasi Manusia”.

Penandatangan nota kesepakatan bersama tersebut dilakukan dalam acara peresmian Pekan Kondom Nasional (PKN) 2009 yang digelar bersamaan dengan Seminar Nasional AIDS di Jakarta, Senin (30/11). Pembukaan PKN 2009 dilakukan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono.

Dalam sambutannya, Panitia PKN 2009 Todd Callahan yang juga Country Director DKT Indonesia mengatakan PKN diadakan setiap tahun sejak tahun 2007 untuk terus mengedukasi masyarakat mengenai manfaat penggunaan kondom bagi kesehatan pribadi maupun pasangan untuk mencegah infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV.

“Penggunaan kondom termasuk cara termudah dan termurah dalam mencegah IMS termasuk HIV,” kata Todd Callahan.

Untuk meningkatkan akses publik dalam mencegah HIV dan penyakit menular seksual lainnya, para produsen kondom Indonesia bersepakat untuk mendukung program Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional.

Peningkatan akses untuk pencegahan termasuk salah satu sasaran dari tema Hari AIDS Sedunia 2009, yang bermakna akses universal untuk pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan merupakan hak asasi manusia.

Menurut Sekretaris KPA Nasional Nafsiah Mboi, akses universal upaya pencegahan HIV dan AIDS termasuk sangat penting karena kini penyebaran virus HIV telah memasuki ranah keluarga. Kini ibu rumah tangga termasuk kelompok yang rentan tertular virus HIV dari suaminya yang menggunakan narkoba suntik, dan/atau yang melakukan hubungan seks berisiko tanpa menggunakan kondom.

Saat ini penyebaran HIV di Indonesia terus meningkat termasuk untuk perempuan. Departemen Kesehatan mencatat per September 2009 total kasus AIDS yang dilaporkan mencapai 18.442 dengan perincian 13.654 pria, 4701 perempuan, dan 87 tidak diketahui.

Jumlah tersebut termasuk untuk perempuan naik tajam dibandingkan per Maret 2008 yang tercatat total ada 11.868 kasus AIDS terdiri dari 9.337 pria, 2.466 perempuan, dan 65 tidak diketahui. Namun kasus HIV dan AIDS merupakan fenomena gunung es, dimana jumlah orang yang dilaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang sebenarnya.

“Jika tidak ada upaya pencegahan serius dan komprehensif maka kasus HIV dan AIDS akan terus meningkat termasuk di kelompok ibu rumah tangga,” kata Nafsiah Mboi.

Karena itu kesepakatan produsen kondom untuk turut serta mendukung program Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional sangat dihargai dan patut dipuji.

Saat ini penggunaan kondom di Indonesia masih kurang signifikan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang besar dan laju penyebaran IMS termasuk HIV yang tinggi. Pada 2008, sebanyak 46,2% penularan HIV terjadi melalui hubungan seksual. Sedangkan pada Januari-September 2009, berdasarkan laporan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional penularan HIV melalui hubungan seksual mencapai 54%.

KAMPANYE PENGGUNAAN KONDOM

Pada PKN 2009 mulai 30 November – 7 Desember akan digelar beragam kegiatan antara lain pembagian materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) di kampus-kampus dan tempat hiburan untuk mengkampanyekan manfaat penggunaan kondom laki-laki dan perempuan pada kegiatan seksual berisiko untuk mencegah IMS, termasuk HIV, maupun mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.

Melalui kegiatan-kegiatan di PKN Nasional diharapkan publik mulai melakukan tindakan nyata untuk mencegah penularan HIV dengan salah satunya meningkatkan penggunaan kondom.

KPA DIBAWAH PRESIDEN

Tentang Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional Sebuah lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memimpin, mengelola dan melakukan koordinasi seluruh upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. KPAN berada dibawah dan bertanggungjawab kepada presiden.

Didirikan sejak 1994; landasan hukumnya kemudian diperbaharui dengan Peraturan Presiden No.75 tahun 2006. Selain di tingkat nasional, KPA juga berada di tingkat provinsi (ketua gubernur) dan di tingkat kabupaten/kota (ketua bupati/walikota).

DKT INDONESIA

Yayasan DKT Indonesia merupakan lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pemasaran sosial untuk pencegahan HIV/AIDS dan penyelenggaraan Keluarga Berencana. DKT didanai oleh pemerintah Jerman melalui KfW.

Misi utama dari Yayasan DKT Indonesia adalah peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat dan kelompok resiko tinggi dengan cara mencegah penularan Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV, dan kehamilan yang tidak direncanakan.

Dalam kegiatannya, DKT Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan dan berbagai LSM guna mempromosikan perubahan perilaku, melalui pemberian informasi dan peningkatan ketersediaan serta penggunaan kondom dengan harga terjangkau bagi masyarakat umum dan kelompok risiko tinggi. Beberapa produk DKT Indonesia yang telah dikenal luas oleh masyarakat adalah kondom Sutra, Fiesta dan Andalan. (aby)

Sumber :
http://www.poskota.co.id/headline/2009/12/04/hiv-aids-sudah-masuk-ke-separuh-kabupaten-se-indonesia
4 Desember 2009

Ibu Rumah Tangga pun Berisiko HIV/AIDS

JANGAN dikira hanya pekerja seks komersil yang berisiko tinggi terkena HIV/AIDS. Ibu rumah tangga pun bisa menghadapi ancaman yang sama. Pemakaian kondom dapat mengurangi risiko penularan HIV pada perilaku seksual berisiko.

Hari ini dunia memperingati Hari AIDS Sedunia. Mengusung tema "Akses Universal dan Hak Asasi Manusia", masyarakat diharapkan terus meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko penularan virus HIV penyebab AIDS melalui tindakan pencegahan tepat. Bertepatan dengan itu, Indonesia untuk ketiga kalinya juga menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN), 30 November-7 Desember 2009.

Hingga 30 September 2009, Departemen Kesehatan RI mencatat jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak 18.442 kasus. Namun, kasus HIV dan AIDS bak fenomena gunung es, dimana jumlah orang yang dilaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan kondisi sebenarnya. Diperkirakan ratusan ribu orang saat ini yang hidup dengan HIV di Indonesia. Orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA) juga sudah makin beragam termasuk anak-anak, remaja, dan ibu rumah tangga.

Bila pada tahun-tahun pertama penyebaran virus HIV dan AIDS di Indonesia penyebab utamanya adalah melalui jarum suntik, saat ini tren penyebaran virus HIV dan AIDS telah bergeser ke perilaku seks berisiko.

Tahun 2008 misalnya, sebanyak 46,2 persen penularan HIV dan AIDS terjadi melalui hubungan seksual. Tahun ini, berdasarkan laporan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional bulan Januari- Maret 2009, proporsi penularan HIV melalui hubungan seksual (baik heteroseksual maupun homoseksual) bahkan mencapai 60 persen. Berhubungan seksual memang merupakan hak asasi manusia karena terkait pemenuhan kebutuhan biologis. Namun, jika risikonya bisa tertular HIV, siapa yang mau?

Sekretaris KPA Nasional, Nafsiah Mboi, mengatakan, Pekan Kondom Nasional ke-3 bertujuan menyelamatkan jiwa melalui pemakaian kondom pada setiap hubungan seksual berisiko. Nah, yang perlu digarisbawahi bahwasanya perilaku seks berisiko tidak selalu diartikan berzina atau merujuk pada kaum pekerja seks komersial.

"Hubungan seks pada pasangan suami-istri juga bisa berisiko terjadi penularan HIV kalau tidak memakai kondom, terutama bila salah satu pihak telah terinfeksi HIV," ujarnya dalam Seminar Nasional AIDS yang bersamaan dengan pembukaan PKN 2009 di auditorium FKUI Jakarta, kemarin.

Wanita yang akrab disapa Naf itu mengungkapkan, saat ini terdapat sekitar 233.000 pekerja seks komersial dengan jumlah laki-laki "pembeli" seks sekitar 7-9 juta orang. Ironisnya dari jumlah tersebut hanya 10-20 persen saja yang mau memakai kondom. Dengan kata lain, 6 juta wanita terancam terinfeksi HIV karena menikah dengan laki-laki tersebut. Laki-laki penasun (pengguna narkoba suntik) juga belum masuk hitungan.

"Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa yang bisa positif terinfeksi HIV itu hanya pelacur adalah salah. Kasus ibu rumah tangga yang tertular justru banyak," ujar Naf seraya menekankan dampak jangka panjangnya jika ibu rumah tangga tersebut lantas hamil, bayi dalam kandungannya pun tak luput dari risiko infeksi HIV.

Menyambung pernyataan tersebut, pelaksana deputi bidang kesehatan reproduksi BKKBN, dr Nelly Nangoy, mengatakan bahwa hamil adalah hak setiap ibu. Namun, pada ibu yang terinfeksi HIV dianjurkan untuk tidak punya anak lagi dalam jangka 2-3 tahun.

"Jika ingin memakai kontrasepsi dianjurkan jangan yang mengandung estrogen karena dapat mengganggu penyerapan obat antiretroviral. IUD juga tidak disarankan karena berisiko terjadi perdarahan sehingga malah memperbesar risiko penularan," saran dia.

Mengingat rendahnya angka pemakaian kondom di kalangan kaum adam, wanita diharapkan tidak pasrah begitu saja. Salah satu alternatif adalah memakai kondom wanita.

Sementara itu, panitia PKN 2009 Todd Callahan yang juga Country Director DKT Indonesia melihat bahwasanya kesadaran dan pemahaman masyarakat Indonesia akan pemakaian kondom secara umum mengalami peningkatan. Sayangnya, dalam hal pemakaian masih rendah atau stagnan. Istilahnya mengetahui tapi tidak mau mempraktikkan.

Pihaknya melalui PKN yang diadakan setiap tahun sejak tahun 2007 terus mengedukasi masyarakat mengenai manfaat penggunaan kondom bagi kesehatan pribadi maupun pasangan guna mencegah infeksi menular seksual (IMS). "Penggunaan kondom termasuk cara termudah dan termurah dalam mencegah IMS termasuk HIV," tukasnya. (sindo//ftr)

Sumber :
http://lifestyle.okezone.com/read/2009/12/01/27/280726/27/ibu-rumah-tangga-pun-berisiko-hiv-aids
1 Desember 2009

Target Kasus HIV AIDS Turun 10%

Sebagai wilayah dengan tingkat pengidap HIV/AIDS terbanyak di DKI Jakarta, Pemerintah Administratif Kota Jakarta Barat menargetkan turunnya kasus HIV/AIDS pada 2010 sampai 10%. Target ini dapat terealisasi jika klinik metadon dan layanan IMS pemerintah berjalan efektif.

Menurut data dari Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta, pengidap HIV/AIDS 2009 yang terdata sebanyak 439 orang dan sebagian besar adalah laki-laki. Dengan rincian Jakarta Utara 44 orang, Jakarta Selatan 87 orang, Jakarta Barat 116 orang, Jakarta Timur 82 orang, serta Jakarta Pusat ada 110 orang.

Kepala Suku Dinas Kesehatan Pemerintah Administratif Kota Jakarta Barat, Yenuarty Suaizy mengatakan terjadi peningkatan kasus temuan HIV/AIDS di Jakarta Barat. Jika 2008 lalu tercatat 67 pengidap HIV/AIDS maka 2009 ini tercatat 116 pasien HIV/AIDS.

Menurutnya, tingginya angka pengidap HIV/AIDS tersebut karena tingginya populasi penduduk di Jakarta Barat. Dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, masalah yang ada pun semakin kompleks termasuk penggunaan narkoba dan perilaku seks bebas.

"Penularan HIV/AIDS (di Jakarta Barat) umumnya dari jarum suntik bekas narkoba yang dipakai bergantian,"ungkap Yenuarty pada Kamis (26/11). Selain itu, Yenuarty menjelaskan faktor penularan virus mematikan ini juga karena gonta-ganti pasangan. Menurutnya, masih banyak tempat di Jakarta Barat yang memberi fasilitas untuk praktek prostitusi sehingga membuat resiko tertular HIV/AIDS semakin tinggi.

Untuk itu, ungkap Yenuarty, pemerintah mendirikan klinik metadon di tiga puskesmas kecamatan yaitu Grogol Petamburan, Tambora, dan Cengkareng. Tiga kecamatan tersebut dipilih karena merupakan wilayah dengan tingkat kasus HIV/AIDS yang paling tinggi.

3 klinik yang sudah beroperasi dari 2008 ini memberikan minuman pengganti narkoba kepada para pemakai. "Minuman itu disebut metadon,"ungkapnya. Yenuarty menambahkan pemberian metadon agar para pemakai dapat mengonsumsi narkotika tanpa harus menggunakan jarum suntik.

Yenuarty menganggap penggunaan metadon masih diperlukan. Menurutnya, meski mengandung narkotika dengan kadar rendah, metadon dapat mengurangi ketergantungan pemakai terhadap narkoba secara bertahap.

Untuk menghindari penggunaan jarum suntik secara bergantian, klinik pemerintah itu pun memberikan jarum suntik baru kepada pemakai untuk mendapatkan jarum suntik baru. Pertukaran jarum suntik tersebut, ungkapnya, agar para pemakai tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian.

Angka Kunjungan ke klinik metadon ini pun besar. Perharinya, Klinik di Tambora dapat dikunjungi sekitar 120 pasien, Klinik Cengkareng 70 an pasien, sementara Grogol Petamburan 30 an pasien.

Menurut Kepala Puskesmas Kecamatan Tambora, drg. Silvia, tingginya angka kunjungan ini memperlihatkan tingginya kesadaran warga untuk berobat. "Sehingga dapat diidentifikasi mana yang mengidap HIV/AIDS,"ucapnya pada Ahad (29/11).

Lebih lanjut, Silvia mengungkap meningkatnya angka pengidap HIV/AIDS bukan berarti adanya peningkatan jumlah pengidap. Karena, menurut Silvia, banyak pasien di Tambora yang baru dapat diidentifikasi setelah adanya klinik metadon ini. "Ini terlihat dari pemeriksaan urine,"ungkapnya.

Meski tidak dapat mengonfirmasi berapa jumlah kasus temuan HIV/AIDS di Kecamatan Tambora, Silvia mengaku seringkali mendapatkan pasien yang positif HIV/AIDS di kecamatan yang luasnya 542,09 hektar dengan populasi 260.887 jiwa tersebut.

Para pengidap HIV/AIDS itu, ungkap Silvia, umumnya tertular karena pemakaian jarum suntik yang bergantian dan perilaku seks yang aktif. "Tambora kan dekat dengan Taman sari yang merupakan sentra pelacuran,"ujarnya.

Karenanya, selain klinik metadon, di Taman Sari pun terdapat layanan konsultasi Infeksi Menular Seksual (IMS). Layanan tersebut, tambah Yenuarty, memberi konsultasi kepada pasien tentang perilaku seks yang aman. "IMS juga memberikan kondom gratis kepada para pelaku seks aktif,"ujar Yenuarty. C01/taq

Sumber :
Republika Newsroom
http://www.republika.co.id/berita/92316/Target_Kasus_HIV_AIDS_Turun_10
29 November 2009

Ibu Positif HIV Boleh Menyusui Bayinya

Seorang ibu yang positif mengidap HIV dan mengonsumsi obat antiretroviral dapat menyusui secara eksklusif enam bulan pada bayinya tanpa menularkan virus HIV-nya kepada sang bayi. Ini hasil penelitian National Agency for the Control of AIDS (NACA) Nigeria di Botswana, Nigeria. Demikian siaran pers yang dikeluarkan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia di Jakarta, Kamis (10/12/2009), yang ditandatangani Mia Susanto, Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI).

Dalam siaran pers tersebut disebutkan, hasil penelitian NACA Nigeria tersebut dirilis oleh Profesor John Idoko, Direktur NACA Nigeria, pada 26 November lalu. Tema tulisan ilmiahnya adalah "Universal Access and Human Rights, Closing the Wide Gap in Preventing Mother To Child Transmission (PMTCT)".

Mia Susanto menyambut positif penelitian NACA Nigeria tersebut. Sebelum ada pengumuman dari hasil penelitian ini, pihak internasional masih ragu untuk menyarankan ibu yang positif HIV untuk menyusui bayi mereka. "Dengan adanya hasil penelitian ini, ketakutan bahwa bayi yang lahir dari ibu positif HIV akan tertular melalui air susu ibunya menjadi terminimalisasi. Selama ibu positif HIV tersebut mengonsumsi obat antiretroviral," jelasnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan, sedari awal AIMI selalu menyarankan agar ibu dapat menyusui secara eksklusif bayinya, walaupun dalam keadaan sakit. Pertimbangannya, selain bayi dapat segala kebaikan dari air susu ibu (ASI), sang bayi juga mendapat antibodi dari ibu terhadap penyakit tersebut.

Bayi baru lahir sangat rentan terkena infeksi ataupun berbagai penyakit yang berjangkit di lingkungan sekitarnya. Cara terbaik untuk melindungi bayi tersebut dari infeksi dan berbagai penyakit adalah dengan memberi ASI.

"Mengapa demikian? Karena ASI adalah asupan nutrisi yang paling higienis, yang memiliki gizi paling lengkap, dan terutama memiliki kandungan antibodi yang dihasilkan oleh tubuh ibunya. Antibodi inilah yang tidak dimiliki susu pengganti mana pun, yang bisa melindungi bayi dari infeksi sekitarnya," kata Mia.

Mia menegaskaan, pemberian ASI tidak bisa dibandingkan atau digantikan dengan pemberian susu formula. Sebab, susu formula bukanlah produk steril. "Belum lagi untuk proses penyajiannya yang memerlukan tempat dan air, yang belum tentu disterilkan terlebih dahulu. Maka, pemberian susu formula akan meningkatkan bahaya berbagai penyakit infeksi dan mal-nutrisi," katanya.

Adanya rekomendasi dari NACA Nigeria tersebut, tekan Mia, semakin menguatkan gerakan AIMI dalam mendorong pemerintah dan pihak swasta untuk memberikan dukungan terhadap ibu menyusui.

Dalam siaran pers AIMI ini, diungkap pula mengenai laju pertumbuhan penderita HIV/AIDS, yakni Indonesia termasuk negara dengan laju pertumbuhan penderita kasus HIV/AIDS yang tercepat di Asia. Dalam setahun diperkirakan terjadi satu juta kasus baru HIV di Indonesia. Tragisnya 92 persen di antaranya adalah usia produktif, termasuk anak dan remaja.

Mengutip laporan yang dikeluarkan Departemen Kesehatan RI, hingga September 2009, dilaporkan sudah 464 anak Indonesia berusia di bawah 15 tahun positif terinfeksi HIV/AIDS. Sebagian besar terinfeksi karena lahir dari ibu yang positif HIV.

Jumlahnya itu kemungkinan lebih besar lagi karena semua kasus belum tentu dilaporkan. Sebagaimana di negara-negara lain, di Indonesia pun masalah HIV/AIDS adalah fenomena gunung es.

Bayi atau anak penderita HIV/AIDS diperkirakan kian meningkat pesat. Bertambahnya prevalensi ini diduga mudahnya jalur penularan, yakni pada saat selama kehamilan, persalinan, atau selama menyusui. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang tidak mendapat terapi ARV berisiko 15-45 persen anaknya tertular HIV/AIDS.

Berdasarkan berbagai fakta-fakta tersebut, tegas Mia Sutanto, AIMI mendorong pemerintah dan swasta, terutama yang bergerak di bidang kesehatan, untuk memberikan dukungan kepada ibu penderita HIV untuk tetap menyusui bayinya.

Sumber :
Ratih P Sudarsono
Editor: wah
http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/12/10/19281455/Ibu.Positif.HIV.Boleh.Menyusui.Bayinya
10 Desember 2009

Pintu Lain Penyebaran HIV/AIDS

Bento, 41 tahun, sebut saja demikian, sejak kecil sudah suka kepada sesama jenis. Dia mulai berhubungan seks sesama laki-laki di usia 15 tahun. Waktu itu dia duduk di sekolah menengah pertama.

Masa kuliah diisinya dengan warna-warni dunia gemerlap. Setiap pulang dugem pasti dilanjutkan dengan berhubungan seks dengan sesama jenis sambil mabuk. Bento tidak pernah berpikir memakai kondom. Selain itu, dia tidak tahu apa itu HIV/AIDS. "Malah sering banget beli laki-laki," ujarnya.

Di usia 38 tahun, Bento mendadak sakit parah. Dia terserang demam dan diare berkepanjangan. Berat badannya turun 5 kilogram. Oleh rumah sakit swasta terkenal di Jakarta, dia didiagnosis positif HIV. Bento langsung pucat, takut. Ia tak menyangka berakibat begini. Kini Bento telah mengubah pola hidup dan perilaku seksnya.

Perilaku seks Bento, menurut Deputi Sekretaris Bidang Pengembangan Program Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) Kemal Siregar, memang berisiko terinfeksi HIV (human immunodeficiency virus). Malah, kata Kemal, hubungan seks sesama lelaki lebih besar probabilitasnya terinfeksi HIV ketimbang heteroseks.

AIDS adalah sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV. Virus ini menular melalui cairan tubuh manusia, seperti darah, sperma, dan air susu ibu. Prosesnya bisa melalui hubungan seks, penggunaan jarum suntik, transfusi darah, dan dari ibu ke anak yang dikandungnya.

Data WHO dan UNAIDS memperkirakan jumlah orang terinfeksi HIV pada 2008 mencapai 33,4 juta di seluruh dunia. Jumlah total orang dengan HIV pada 2008 meningkat 20 persen dari 2000 dengan prevalensi tiga kali lebih besar ketimbang pada 1990.

Di Indonesia, data Departemen Kesehatan sampai dengan 30 September 2009 mencatat ada 46.702 orang hidup dengan HIV/AIDS (OHDA), yang terdiri atas 18.442 penderita AIDS dan 28.260 orang terinfeksi HIV.

Jumlah total OHDA tersebut meningkat 20 persen dari tahun lalu yang "hanya" 36.287 jiwa. "Seperti fenomena gunung es, jumlah ini hanya mewakili 10 persen dari angka sebenarnya," kata Nafsiah Mboi, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) di Jakarta, tiga pekan lalu.

Kasus HIV/AIDS di Indonesia bukan soal remeh, dengan lebih dari 50 persen orang yang terinfeksi berada dalam kelompok usia 15-29 tahun. Di tanah Papua, HIV telah menjadi epidemi. "Prevalensi HIV pada orang dewasa di Papua mencapai 2,4 persen, yang merupakan angka tertinggi di Indonesia," Nafsiah melanjutkan.

Masalah HIV/AIDS memang bukan sekadar angka dan data. Para ahli mengamati sedang terjadi pergeseran dalam cara penularan penyakit ini di Indonesia. Penyebaran melalui pemakaian narkoba suntik yang dipakai beramai-ramai, pada beberapa tahun terakhir, bergeser menjadi penyebaran melalui hubungan seks berisiko.

Berdasarkan laporan KPAN sepanjang triwulan pertama 2009, proporsi penularan melalui hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual, mencapai 60 persen, melalui jarum suntik 30 persen, sedangkan sisanya melalui transfusi darah dan dari ibu hamil ke janin yang dikandungnya.

Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin, rasio kasus AIDS laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Data KPAN memperkirakan kini ada sekitar 4 persen atau 3,3 juta lelaki Indonesia yang rajin mengunjungi wanita pekerja seks, 233 ribu lelaki pengguna narkoba suntik, dan 809 ribu lelaki yang melakukan hubungan seks dengan lelaki.

Permasalahan dalam masyarakat membuat penanggulangan masalah ini jadi semakin pelik. Misalnya dalam hal preferensi seksual. Tak semua pria yang berhubungan seks dengan pria adalah gay murni. Ada kasus seorang pria heteroseks menjadikan dorongan ekonomi sebagai alasan untuk menjual diri sebagai gay.

"Ada yang ingin beli BlackBerry tapi tidak mampu, akhirnya jual diri jadi gay," kata Kemal. Nah, menurut Kemal, kantong-kantong seperti ini banyak terdapat di kota besar seperti Jakarta dan Bandung.

Walhasil, prevalensi HIV/AIDS di kalangan LSL (lelaki sama lelaki) mencapai 5,2 persen. Angka itu berdasarkan Hasil Studi Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku Departemen Kesehatan 2007. Persentase ini dikaji dari sekitar 700 ribu gay, waria, dan LSL yang terhitung di Indonesia. "Ini masih akan meningkat jika tidak ada intervensi," ujar Wenita, konsultan pengembangan program KPAN.

Kemal menambahkan, jika dibandingkan dengan narkoba suntik (52,4 persen), waria (24,4 persen), dan perempuan pekerja seks (10,4 persen), prevalensi LSL memang lebih kecil. Namun, komunitas LSL ini tersembunyi sehingga cakupan program cuma merangkul 9 persen dari mereka.

Komunitas yang tersembunyi ini jadi sulit menjangkau informasi, termasuk mengenai kondom. Makanya, kata Kemal, angka penggunaan kondom pada GWL (gay, waria, dan LSL) menurun drastis. Sebaliknya, angka HIV pada GWL meningkat sangat tajam.

Menurut Tono Permana, Ketua Organisasi Gay, Waria, Lelaki Seks dengan Lelaki-Indonesia atau GWL-INA, dalam komunitasnya memang seperti dalam kasus Bento, banyak pelaku LSL yang ogah memakai kondom.

Padahal, menurut Nafsiah dalam acara National Condom Week menjelang peringatan Hari AIDS Sedunia, kondom bisa mengurangi penyebaran virus laten ini. Di Thailand, misalnya, program serupa berhasil menekan laju penyebaran HIV/AIDS hingga 83 persen dalam rentang 1991 sampai 2003.

Sumber :
HERU TRIYONO | AMANDRA MUSTIKA MEGARANI
http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2009/12/01/brk,20091201-211156,id.html
1 Desmber 2009

Tes HIV

Apa Tes HIV Itu?

Tes HIV memberi tahu kita apakah kita terinfeksi HIV, virus penyebab AIDS. Tes ini mencari antibodi terhadap HIV. Antibodi adalah protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh untuk menyerang kuman tertentu. Antibodi terhadap semua kuman berbeda, jadi bila ditemukan antibodi terhadap HIV dalam darah kita, artinya kita terinfeksi HIV.

Ada tes lain yang terkait HIV, yang dipakai setelah kita mengetahui bahwa kita terinfeksi HIV. Tes ini mengukur jumlah virus dalam aliran darah kita (tes viral load, lihat Lembaran Informasi (LI) 125), dan tingkat kerusakan pada sistem kekebalan tubuh kita (tes CD4, lihat LI 124).

Apa Proses Tes HIV?

Tes yang paling lazim untuk HIV adalah tes darah. Sekarang juga ada tes yang dapat mencari antibodi dalam air seni, atau dalam cairan yang diambil dari dalam mulut (bukan air liur), digesekkan dari dalam pipi. Tes yang sering dipakai sekarang disebut tes cepat atau rapid test, yang mampu menyediakan hasil dalam 20-30 menit.

Untuk tes darah, contoh darah kita diambil dengan jarum suntik sekali pakai, atau tetes darah diambil setelah jari kita ditusuk dengan jarum sekali pakai. Jika hasil tes pertama ‘reaktif’ (positif), hal ini menunjukkan kemungkinan kita terinfeksi HIV. Tetapi dua tes lagi harus dilakukan dengan cara berbeda untuk memastikan hasilnya benar, dan dapat dinyatakan ‘positif’. Ini biasanya dilakukan oleh tempat tes tanpa kita diketahui. Hasil juga dapat dilaporkan sebagai ‘non-reaktif’ (negatif). Kadang laboratorium juga melaporkan angka non-reaktif (mis. non-reaktif, 0,34). Angka ini tidak ada relevansi sama sekali dan sebaiknya diabaikan.

Sebelum darah diambil, kita wajib diberi konseling oleh seorang konselor yang terlatih. Di antara yang lain, konseling ini akan memberi informasi dasar tentang HIV dan AIDS, manfaat dan kerugian kita mengetahui apakah kita terinfeksi, dan bagaimana kita akan bereaksi jika nanti hasilnya positif. Setelah itu, kita diminta menyetujui sebelum darah diambil (sering disebut informed consent). Kita juga wajib diberi konseling lagi oleh konselor yang sama saat hasilnya sudah ada. Hasilnya hanya boleh diberikan pada kita, dan tidak boleh diberikan pada orang lain tanpa persetujuan kita. Tempat melaksanakan tes bertanggung jawab untuk menjamin nama kita dan hasil tes tidak diketahui orang lain (konfidentialitas – lihat LI 813).

Namun, jika kita di bawah umur, orang tua atau wali kita boleh mewakili kita. Sayangnya, di Indonesia, tidak jelas berapa sebenarnya usia ‘di bawah umur.’

Hasil tes tidak wajib dilaporkan ke pemerintah. Ada beberapa tempat tes yang tidak mewajibkan kita memberi nama atau identifikasi. Ini disebut tes tanpa nama atau anonim.

Bagaimana Kita Dapat Dites?

Semua rumah sakit rujukan AIDS (lebih dari 150 di seluruh Indonesia) menyediakan layanan tes HIV, sering kali di klinik disebut VCT (voluntary counseling and testing). Daftar rumah sakit rujukan dapat dilihat di situs web Spiritia (lihat alamat di bawah) atau dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah. Selain itu ada beberapa LSM yang menyediakan tes HIV, dan tes juga dapat dilakukan di beberapa laboratorium swasta, walau sering kali lab tersebut tidak menyediakan konseling.

Tes kadang disediakan tanpa biaya, tetapi biasa harganya tidak lebih dari Rp 50.000.

Kapan Sebaiknya Kita Dites?

Jika kita menjadi terinfeksi HIV, biasanya sistem kekebalan tubuh baru membentuk antibodi tiga minggu hingga tiga bulan setelah kita terpajan. Ini disebut masa jendela. Jadi, jika kita merasa kita terpajan, atau melakukan perilaku berisiko tertular HIV, kita sebaiknya menunggu tiga bulan setelah peristiwa berisiko sebelum kita dites. Kita juga dapat langsung tes, dan mengulangi tes tiga bulan setelah peristiwa (bukan dari tes pertama). Selama masa jendela ini, tes antibodi akan menunjukkan hasil non-reaktif (negatif), tetapi walaupun begitu, jika kita sudah terinfeksi kita dapat menularkan orang lain.

Menurut pedoman Depkes RI, hasil tes HIV yang non-reaktif tiga bulan atau lebih setelah peristiwa berisiko berarti kita tidak terinfeksi HIV, atau dalam kata lain, kita HIV-negatif.

Ada Tes yang Memberi Hasil Lebih Cepat?

Tes viral load mencari potongan genetik HIV. Bibit ini terbentuk sebelum sistem kekebalan tubuh membentuk antibodi. Tes viral load tidak biasa dipakai untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi, karena tes tersebut jauh lebih mahal dibandingkan tes antibodi. Selain itu, tingkat hasil yang salah lebih tinggi, sehingga tes viral load ini tidak disetujui oleh Depkes sebagai alat diagnosis HIV untuk orang dewasa di Indonesia.

Apa Artinya Jika Kita Positif?

Hasil positif atau reaktif berarti kita mempunyai antibodi terhadap HIV, dan itu berarti kita terinfeksi HIV. Hasil tes seharusnya disampaikan kepada kita oleh konselor, yang akan memberi tahu kita apa maksudnya pada kehidupan kita, dan bagaimana kita dapat memperoleh layanan dan dukungan kesehatan serta emosional.

Hasil positif bukan berarti kita AIDS (lihat LI 101 untuk informasi lebih lanjut). Banyak orang yang positif tetap sehat untuk beberapa tahun, dan sering tidak langsung perlu memakai obat apa pun.

Apakah Kita Dapat Mempercayai Hasil Tes?

Hasil tes antibodi untuk HIV adalah benar untuk lebih dari 99,5% tes. Sebelum kita diberi hasil positif, tes diulang dua kali sebagai konfirmasi.

Ada beberapa keadaan khusus yang dapat memberi hasil yang salah atau tidak jelas:

Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang HIV-positif dapat menunjukkan hasil positif untuk beberapa bulan karena antibodi ibu diarahkan ke bayi yang baru lahir. Walaupun si bayi sebenarnya tidak terinfeksi, dia mempunyai antibodi terhadap HIV dan hasil tes akan positif. Tes lain, misalnya tes viral load, harus dipakai jika hasil yang benar dibutuhkan lebih cepat. Lihat LI 613 untuk informasi mengenai diagnosis HIV pada bayi.

Seperti dibahas di atas, orang yang baru terinfeksi dapat menunjukkan hasil negatif (non-reaktif) jika dia dites terlalu dini sejak terinfeksi dengan HIV.

Hasil tes HIV pada ibu hamil mungkin palsu atau tidak jelas akibat perubahan pada sistem kekebalan tubuhnya.

Garis Dasar

Tes HIV biasanya mencari antibodi terhadap HIV dalam darah. Sistem kekebalan tubuh kita membuat antibodi ini untuk melawan HIV. Biasanya dibutuhkan tiga minggu hingga tiga bulan untuk membentuk antibodi tersebut. Selama masa jendela ini, tes kita tidak akan menunjukkan hasil positif walaupun kita terinfeksi. Tes HIV biasa juga tidak memberi hasil yang benar untuk bayi yang baru lahir pada ibu yang terinfeksi HIV.

Hasil tes yang positif (reaktif) berarti kita terinfeksi HIV, tetapi tidak berarti kita AIDS. Jika kita memang HIV-positif, sebaiknya kita belajar tentang HIV, dan mempertimbangkan bagaimana kita dapat melindungi kesehatan kita.

Sumber :
http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=102
2 Desmber 2009

Departmen Pendidikan Nasional: Strategi Pencegahan HIV/AIDS Melalui Pendidikan - Sebuah kutipan

Apa itu HIV dan AIDS

HIV singkatan dari “Human Immunodeficiency Virus”. Virus ini adalah virus yang diketahui menjadi penyebab AIDS [Acquired Immune Deficiency Syndrome]. Jika seseorang positif HIV, ini berarti mereka terinfeksi virus tersebut. Seseorang yang terinfeksi dengan HIV tidak mempunyai AIDS selama virus tersebut secara serius merusak sistem kekebalan, membuat mereka lemah/mudah terserang infeksi, beberapa di antaranya menyebabkan kematian. HIV ditularkan melalui cairan tubuh kebanyakan dalam darah, sperma, cairan vagina dan ASI.


Hanya ada 4 cara anda dapat menjadi HIV positif

1. Berhubungan seksual tanpa menggunakan pelindung dengan orang yang terinfeksi [kasus kebanyakan];
2. Berbagi jarum suntik atau alat suntik yang terkontaminasi atau alat tindik;
3. Darah dan produk darah melalui, contohnya, transfusi, pencangkokan organ atau jaringan yang terinfeksi;
4. Penularan melalui ibu yang terinfeksi kepada anak dalam kandungan atau pada saat kelahiran dan pemberian ASI.


Anda tidak dapat HIV dengan:

1. Berjabat tangan
2. Berbagi alat potong
3. Berpeluka
4. Minum dari mata air
5. Menggunakan gelas yang sama
6. Berteman dengan penderita
7. Bermain bersama
8. Belajar bersama atau bersekolah di tempat yang sama


Strategi HIV/AIDS Nasional 2003-2007

Pencegahan HIV/AIDS

HIV/AIDS adalah masalah kesehatan dan masalah sosial. Karena penyebaran HIV/AIDS sangat kuat dipengaruhi oleh tingkah laku manusia, dan segala usaha untuk pencegahannya haruslah mempertimbangkan faktor ini.

Usaha pencegahan di antara populasi umum terdiri dari perbaikan ketrampilan dan pengetahuan, dalam cara yang dapat diterima oleh nilai-nilai agama dan norma-norma budaya, tentang bagaimana virus ini berpindah, konsekuensi dan pencegahannya, penggunaan metode IEC yang telah ada.

Penyebarluasan pengetahuan melalui jalur pendidikan formal dan informal begitu juga melalui jalur agama dicapai dengan cara sistematis memasukan material tentang HIV/AIDS ke dalam kurikulum reguler mereka.

Penerapan yang sesuai dalam program IEC juga membutuhkan kapasitas yang membangun pada pekerja kesehatan di garis depan, pekerja sosial, pekerja lapangan, guru, pelatih trampil dan lain-lain.

Usaha pencegahan ditujukan pada populasi yang beresiko tinggi seperti para pekerja seks dan klien mereka, PLHA dan partnernya, IDUs, dan mereka yang secara umum pekerjaannya beresiko terinfeksi HIV/AIDS seharusnya didasari ukuran pencegahan efektif seperti penggunaan kondom, pengurangan resiko, ketaatan beribadat sebagai tindakan pencegahan universal dan sebagainya.


Sumber :
http://www.idp-europe.org/indonesia/compendium/id/HIV-AIDS.php

Kisah Nyata - HIV/AIDS: Perjuangan Menghadapi Bom Waktu

Dalam sebuah rumah berdinding semen dan berkamar tiga di Sorong, Papua Barat, impian Angelina pun perlahan memudar. Dulu ia pernah bercita-cita untuk menjadi seorang polisi wanita “karena saya melihat mereka membantu dan melindungi orang.”

Namun sudah lama impian itu sirna. Pada Juni 2002, suaminya yang bekerja sebagai ahli mekanik meninggal. Enam bulan kemudian bayi perempuan pertamanya pun juga meninggal. Baru pada bulan Oktober ia tahu penyebabnya. Belum juga hilang kesedihannya, perempuan 21 tahun itu diberitahu bahwa ia terinfeksi HIV. Kemungkinan besar suaminya terjangkit virus itu dari pekerja seks.

Angelina hanya salah satu korban yang polos dan tidak tahu menahu tentang HIV di Indonesia. Ia hanya orang biasa yang bahkan tidak pernah melakukan tindakan beresiko tetapi tertular oleh orang yang berkelakuan tidak baik. Tentu saja banyak perhatian tercurah pada penyebaran HIV/AIDS di antara kelompok-kelompok yang beresiko. Tapi UNICEF justru memfokuskan pada anak muda dalam upayanya mencegah penularan virus ke masyarakat luas.

Sebagian besar anak muda Indonesia tidak tahu mengenai HIV/AIDS dan penyebarannya. Hanya sedikit yang mendapat informasi yang tepat tentang penyakit itu. Dalam satu penelitian, hanya satu dari tiga pelajar sekolah menengah atas di Jakarta yang tahu persis cara pencegahan penularan virus secara seksual.

Kurangnya pengetahuan ini menjadi sebuah bom waktu di daerah-daerah seperti Papua. Di sana anak muda mulai aktif secara seksual pada awal masa pubertas. Dengan memberikan pelatihan pada guru-guru sekolah menengah atas di Papua tentang ketrampilan hidup dan HIV/AIDS, UNICEF berharap generasi muda di Papua akan memahami konsekuensi dari seks yang tidak aman.

Menyangkut pendidikan sebagai satu pilar strategi lima tahun HIV/AIDS, pemerintah Indonesia tetap berjalan di tempat. Karena itu UNICEF mencoba langkah berbeda dengan menyentuh langsung pelajar sekolah menengah atas.

“Saat kita berada di sekolah, kita mengkombinasikan strategi pendidikan ketrampilan hidup dan pendidikan sebaya untuk mencegah penularan HIV dan penyalahgunaan obat-obatan. Strategi itu pada dasarnya dirancang untuk memberikan kaum muda ketrampilan komunikasi antar pribadi, kreatifitas, kepercayaan diri, harga diri dan daya pikir kritis. Ini perlu untuk membantu mereka jika menghadapi kesempatan untuk mencoba obat-obatan atau melakukan seks yang tidak aman,” kata Rachel Odede, kepala unit HIV/AIDS UNICEF Indonesia.

Hambatan utama untuk pendidikan orang Indonesia adalah keyakinan bahwa penyakit ini hanya menjangkiti “orang tidak baik” dan memang mereka layak mendapatkannya. Orang yang terinfeksi HIV/AIDS pun diberi stigma dan dipaksa pergi dari kampung halaman mereka. Mereka ditolak berobat ke dokter, diancam, dijauhi dan disingkirkan. Ketakutan dan stigma semacam itulah yang membuat para tetangga dan bahkan anggota keluarga Angelina tidak tahu sama sekali penyakitnya.

“Saya anggota aktif di gereja. Saya tidak ingin orang melihat ke saya dan berkata ‘Lihat, orang itu putrinya sakit’”, kata Yakobus, ayahnya. Ia seorang guru sekolah dasar yang mengambil pensiun dini untuk merawat putri bungsunya itu.

Meski orang Indonesia yang sekuler telah mengenal program keluarga berencana dengan slogan ‘dua anak cukup’, pembicaraan mengenai seks masih dianggap tabu oleh sebagian penduduk yang sebagian besar Muslim dan konservatif ini. Saat ini epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada tingkat penularan HIV yang masih rendah pada penduduk secara umum. Namun pada populasi tertentu, tingkat penularannya cukup tinggi, yaitu di antara para pekerja seks komersil dan pengguna jarum suntik yang kian meningkat.

© UNICEF/IDSA/036/Estey



Seperti halnya Viet Nam dan China, epidemi HIV/AIDS di Indonesia masih digolongkan baru timbul. Para pakar memperkirakan ada sekitar 90.000 sampai 130.000 orang Indonesia yang terjangkit HIV. Tapi UNICEF yakin angka ini akan bertambah jika tidak ada perubahan perilaku populasi yang beresiko dan menjadi perantara.

Tidak sulit melihat gambaran penularan ini di masyarakat umum. Diperkirakan ada 7 sampai 10 juta laki-laki Indonesia mengunjungi pelacuran tiap tahunnya. Mereka biasanya enggan menggunakan kondom. Diperkirakan juga ribuan perempuan telah terinfeksi secara seksual oleh laki-laki yang menyuntikkan obat-obatan.

“Pada tahun-tahun setelah krisis moneter, kami melihat makin banyak orang muda pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Tampak pula terjadi peningkatan jumlah pekerja seks dan pengguna jarum suntik (IDU),” kata Dr Barakbah, kepala unit penyakit menular Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya. “Kita akan melihat lonjakan kasus AIDS dalam beberapa tahun mendatang. Kita juga melihat pertumbuhan eksponensial pada kasus-kasus HIV yang dilaporkan, terutama yang berasal dari tempat pelacuran. Penyebarannya sedang memasuki tahap ketiga, yang mengarah ke AIDS. Kami melihat makin banyak pasien,” tambahnya.

Untuk mengetahui bagaimana skenario ini terkuak, lihatlah kisah pekerja seks berusia 16 tahun, Reena (bukan nama sebenarnya). Ia beroperasi di Surabaya, daerah seks terbesar di Asia. Ia terinfeksi HIV positif dan ia tidak tahu. Ia pun tetap melayani tamunya sampai 12 orang tiap minggunya. Tak satupun para pelanggannya dan beberapa ‘pacarnya’ itu yang menggunakan kondom.

Orang-orang tersebut adalah di antara 2.000 lebih pelaut yang singgah setiap minggunya di Surabaya, ibu kota Jawa Timur yang juga pusat pengiriman barang antara Jawa, Sulawesi, dan kepulauan bagian timur Indonesia.

Orang dari seluruh penjuru Nusantara menjuluki Surabaya dengan istilah ‘tiga M’ dalam kaitannya dengan penularan HIV/AIDS, yaitu “Men (laki-laki), Money (uang ) dan Mobility (mobilitas)”.

Saat ini instansi-instansi makin menaruh perhatian terhadap cepatnya penularan HIV/AIDS terhadap generasi muda Indonesia yang menggunakan jarum suntik. Sebagian besar dari mereka berumur dua puluhan dan aktif secara seksual.

Di beberapa daerah di Jakarta, diperkirakan 90 persen pengguna terkena HIV positif. Beberapa tahun lalu, demografi para pengguna obat-obatan mulai meningkat karena jatuhnya harga heroin dan para ahli kimia Indonesia mulai membuat shabu-shabu dalam jumlah besar (bahkan cukup untuk menjadi eksporter obat bius).

Seperti halnya di Thailand, penggunaan obat-obatan menarik para orang miskin di kota di Indonesia. Merekalah kelompok yang sulit diberi pengertian mengenai jarum suntik pribadi dan bersih.

Untuk mendorong kaum muda untuk memanfaatkan layanan pengujian dan konseling, UNICEF memberi dukungan teknis dan finansial kepada beberapa lembaga swadaya masyarakat untuk membantu generasi muda putus sekolah yang rentan terhadap penyalahgunaan obat dan eksploitasi seks.

Tapi lembaga-lembaga ini tidak bisa berjuang sendirian. Untuk memberi pemahaman ke masyarakat yang lebih luas, mereka butuh dukungan dan sumber-sumber dari pemerintah pusat dan daerah. Sayangnya, instansi pemerintah enggan untuk memimpin gerakan ini karena penyakit itu dianggap sebagai akibat dari ‘tindakan amoral’.

Beberapa langkah baru telah diambil. Para gubernur dari daerah-daerah yang penularannya parah bersedia menandatangani perjanjian dan bersumpah untuk memusatkan segala sumber mereka untuk kemajuan penyuluhan mengenai penyakit itu. Tapi rupanya masih terlalu banyak hal yang harus dikerjakan.

“Tantangan terdekat yang saya lihat adalah menterjemahkan strategi HIV/AIDS menjadi rencana tindak yang operasional dan konkrit,” kata Odede.

Sumber :
http://www.unicef.org/indonesia/id/reallives_3186.html